MEMIMPIKAN DESA EKOLOGIS (Perspektif Ekologi Manusia dalam Ecotopia Kaum Eko-Anarkis)

Posted in Uncategorized with tags , , , , , , on Mei 30, 2016 by lakulintang
IMG_0842

Sawit di desa-desa menggantikan padi, ketika kapitalisme merasuk sampai jauh (dok.pribadi)

Desa sebagai artefak kolonialisme

Apa yang terjadi pada desa di Indonesia merupakan hasil dari terjadinya intervensi manusia dalam skala besar atas ruang fisik serta ruang sosio-kultural yang telah mengelola dan mengeksploitasinya[1]. Dinyatakan oleh Breman (dalam Lutfi, 2011) bahwa desa di Jawa merupakan arena perebutan sumber daya. Adalah kolonial Belanda yang mengenalkan konsep “desa” dengan aturan administratif, teritorial dan fungsi-nya dalam kerangka “modernisasi” yang diselenggarakan oleh administratur, militer dan pedagang demi untuk mendapatkan sumber daya. Maka menjadi sahih apabila dikatakan bahwa “desa” merupakan konstruksi kolonial.

Dampak dari intervensi kolonial asing ini adalah terjadi diferensiasi sosial akibat terbukanya banyak jenis lapangan kerja, masuknya ekonomi uang, munculnya pencari rente, munculnya investasi yang luas dalam pertanian dan pertambangan, peningkatan produksi melalui rekayasa teknis pertanian dan terjadinya pengalihan tenaga kerja (Wertheim 1964)[2]. Faktor-faktor inilah yang kemudian mengubah desa menjadi unit produksi di bawah negara diikuti rasionalisasi dan birokratisasi. Maka situasi desa hari ini merupakan salah satu hasil peninggalan kolonial, artefak yang tertinggal saat para penguasanya bahkan telah tak ada lagi.

Desa sebagai ajang eksploitasi kapitalisme

Ironi muncul pada masa pascakolonialisme, justru negara mengulang model yang sama terhadap desa. Logika yang digunakan sama yakni desa sebagai unit produksi dalam bingkai pertumbuhan sesuai logika pertumbuhan Rostow yang sangat linear dan determinis.[3] Desa diekploitasi sebesar-besarnya untuk mendukung pertumbuhan melalui produksi, investasi dibuka sebesar-besarnya dan sumber daya diperas sebesar-besarnya untuk mendukung pertumbuhan nasional. Pelakunya adalah asosiasi korporasi dan aparat pemerintah yang secara kompak berjalan dalam gerbong”growth machine.”[4] (Logan & Moloth dalam Bryant, 2007)

Revolusi hijau adalah contoh nyata bagaimana negara menjadikan desa sebagai pabrik produk mentah, desa ibarat sapi perah yang difasilitasi dengan paket bibit unggul seragam, pupuk kimia dan obat-obatan anti hama dan dukung infrastruktur, sistem administrasi dan informasi agar desa siap bagi pasar. Dampaknya adalah runtuhnya sistem pertanian organik mandiri tradisional, hancurnya bibit lokal, degradasi kualitas tanah, kemiskinan dan ketergantungan pada obat dan bibit, serta kesenjangan antara produk pangan dan non-pangan yang menimbulkan ketidakseimbangan ekologis pada akhirnya[5].

Dari uraian di depan terlihat bahwa pangkal masalah perubahan sosial perdesaan di Indonesia adalah adanya kekuatan kapital yang masuk dan memaksa pertanian desa memasuki sirkuit pasar, baik nasional maupun transnasional. Sebenarnya pada penerapan cultuurstelsel di era kolonial Belanda petani telah dipaksa menjadi satu elemen penting dalam sistem ekonomi liberal lintas negara. Liberalisasisudah dimulai sejak abad 19 dimana hasil produksi perdesaan di Indonesia dijual ke pasar internasional untuk membangun industrialisasi di Belanda.[6]

Pada dewasa ini globalisasi dan kapitalisme telah mengubah total wajah desa. Desa tak lagi berperan sebagai produsen melainkan juga sebagai pasar, petani tak lagi bersaing dengan petani tetangganya melainkan dengan petani di Amerika Serikat dan Eropa, dan apa yang dahulu dimiliki desa sebagai “the common” seperti mata air tak lagi mereka bisa kuasai bersama. Telah terjadi apa yang disebut “tragedy of the common” yakni privatisasi sumber daya alam yang awalnya milik bersama kemudian dieksploitasi untuk keuntungan swasta[7].

Ekologi Manusia dari kacamata Marxisme

Dunia saat ini berada pada situasi yang tidak berkelanjutan karena manusia berkembang pesat dalam situasi yang tidak berkelanjutan.Terlebih saat ini dimana terjadi degradasi lingkungan, tekanan populasi, kemiskinan dan ketidakstabilan politik.[8] Keempat faktor tersebut menunjukkan, interrelasi antara manusia, kemiskinan, ketidakstabilan politik dan degradasi lingkungan sangatlah kuat.

Dalam menganalisis kondisi desa saat ini, kerangka ekologi manusia digunakan untuk melihat kontribusi faktor-faktor pembentuk perubahan sosial masyarakat desa. Ernst Haeckel memperkenalkan istilah oekologi yang berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya[9], istilah ini disatukan menjadi ekologi manusia menjadi disiplin yang hendak menjelaskan relasi antara manusia/komunitas dengan lingkungannya yang disebut ekosistem[10].

Manusia adalah bagian ekosistem, di sisi lain manusia adalah juga bagian sistem sosial. Maka Ekologi manusia juga melihat relasi antara sistem sosial dan ekosistem karena setiap tindakan manusia yang berdampak pada ekosistem sangat dipengaruhi oleh alam dimana manusia tinggal, juga oleh nilai dan pengetahuan yang dipegang oleh individu dan masyarakatnya[11].

Dari kacamata Marx, tindakan manusia terhadap alam berkaitan dengan interaksi fundamental antara manusia dan lingkungannya. Dalam hal ini, pembedaan antara antroposentrisme dengan ekosentrisme bukanlah masalah yang tepat. Ekologi Marx tidak bersandar pada konsepsi antroposentrisme ‘Baconian’ yang lebih menekankan pada  dominasi serta penguasaan alam atas nama pembangunan ekonomi melainkan pada permasalahan perubahan bersama (co-evolution) antara manusia dengan alam itu sendiri (Foster, 2000).[12]

Menurut Marx, antara manusia dan alam adalah satu tubuh yang memiliki satu sistem metabolisme, apabila terjadi proses penghisapan atas alam dan manusia maka syarat adanya pertumbuhan tak akan berjalan. Dalam kerangka ekologi manusia Marx, ekonomi kapitalis menempatkan manusia dan alam adalah properti sehingga bisa diekploitasi semaksimal mungkin, hal ini menimbulkan alienasi atas kerja. Apabila ini terjadi, di waktu yang sama akan terjadi alienasi atas alam. Kondisi ini akan memunculkan kehancuran yang berbahaya bagi manusia.

Kapitalisme, musuh abadi sosial ekologi

Pandangan ekologi dan manusia Marx melihat hubungan antara penghisapan kapital terhadap manusia dan alam, pada era berikutnya memunculkan gerakan sosial baru yang menghendaki keterbebasan dunia dari ancaman krisis ekologi. Salah satunya adalah Murray Bookchin, salah seorang tonggak gerakan ekologi kiri yang dinamakan eco-anarkisme atau sosial ekologi. Gerakan ini mengkritik sekaligus mempertajam sikap Marx terhadap terjadinya krisis alam dalam antagonismenya dengan sistem kapitalis.

Menurut Bookchin, persoalan ekologi bukanlah meletakkan alam atau bumi sebagai yang utama seperti yang dikonsepsikan kaum deep-ecology. “Social ecology is neither deep, tall, fat, nor thick. It is social” (Bookchin, 1987)[13]. Baginya, konflik antara manusia dan alam yang dialami dunia saat ini merupakan perluasan dari konflik antara manusia dengan manusia dimana terjadi permasalahan dominasi atas satu terhadap yang lain. Krisis ekologis memiliki akar pada persoalan dominasi dan otoritarianisme. Dominasi sosial berupa hirarki, terbentuknya kelas, bentuk-bentuk kepemilikan dan munculnya institusi statis membentuk secara konseptual mengenai hubungan antara manusia dengan alam. Alam dipandang sebagai semata sumber daya, obyek produksi dan penyedia bahan mentah yang bisa dieksploitasi. Maka menurut Bookchin, gerakan ekologis harus menyentuh masalah dominasi dalam semua aspek, jika tidak maka gerakan tersebut tak akan memberikan kontribusi dalam pembongkaran akar penyebab krisis ekologi[14].

Kapitalisme adalah musuh terbesar dari kaum eco-anarkis karena kapitalisme menyandarkan diri pada premis produksi untuk produksi,[15] “pertumbuhan” menjadi antidot dari kematian. Logika masyarakat kapitalis adalah bahwa semua orang berposisi sama dalam sebuah pasar bebas, sedangkan yang menyatukan mereka adalah kompetisi semua melawan semua. Hukum besi kapitalisme pun berlaku yakni : Tumbuh atau Mati! artinya siapa yang tak mampu mengembangkan kapital dan mengalahkan kompetitornya maka ia akan kalah.[16]

Adalah suatu kemustahilan bagi kaum eco-anarkis untuk bicara tentang “batas pertumbuhan” dalam pasar kapitalistik. Konsep “ramah lingkungan” oleh korporasi kapitalistik hanya manipulatif karena selama kapitalis ada maka penghisapan harus terus dilakukan semaksimal mungkin sambil mencari teknologi substitusi alam yang jelas bersifat artifisial.[17]

Menuju masyarakat ekologis

Perjuangan melawan kapitalisme adalah menahan diri dari kerakusan untuk bertumbuh dan kehendak yang kuat untuk mengembalikan manusia, masyarakat dan alam sebagai satu kesatuan biologis yang saling menjaga satu sama lain. Bookchin mendorong terjadinya pembongkaran sistem kuasa kapital yang rakus dan mengubahnya menjadi masyarakat yang akan mengembalikan keseimbangan antara masyarakat dan alam[18]. Cara pertama, menggantikan praktik ketidaksetaraan atas pihak-pihak yang setara dengan praktik kesetaraan bagi yang tak diperlakukan setara (replacing the inequality of equals by the equality of unequals). Bookchin menamakan masyarakat ekologis baru ini bernama anarko-komunisme. Sebuah masyarakat yang menghilangkan akar penyebab dari dominasi manusia terhadap alam yakni dominasi manusia atas manusia lain. Untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam mengisyaratkan adanya harmonisasi di dunia sosial.[19]

Desa-desa di Indonesia memang telah mengalami transformasi yang secara umum dicetak sebagai desa-desa yang di satu sisi diberi peran sebagai area produksi dan di sisi lain sebagai pasar, kedua variabel ini membentuk dualisme desa menjadi desa-kota karena model pengembangan yang diterapkan di desa memiliki kecenderungan untuk menjadikan desa seperti kota di bawah kendali negara pro pertumbuhan dan pasar kapitalisme. Apa yang dikonsepsikan David Harvey (dalam Bryant 2007; juga lihat Logan & Molotch 1987) bahwa kongsi antara para “growth machine” yakni aparatus pemerintah dan korporasi telah menjadikan desa sebagai alat bagi akumulasi modal.

Sehubungan dengan itu, Bookchin menawarkan sebuah konsepsi yang disebut masyarakat swa-kelola. Prinsipnya adalah masyarakat yang bebas dari negara, masyarakat terdesentralisasi, dan kepemilikan komunal atas alat produksi[20]. Ketiga prinsip ini muncul karena kaum eco-anarkis melihat keberadaan negara, regulasi serta watak rakus pertumbuhan, homogenisasi, simplifikasi dan dominasi otoritarian dalam sistem kapitalisme adalah akar penyebab krisis ekologi yang jika dibiarkan akan berujung pada “ecological apocalypse”.[21]Pengembalian hak produksi pada masyarakat berarti mengembalikan kedaulatan masyarakat untuk mengurus rumahnya sendiri tanpa dominasi. Masyarakat akan memenuhi kebutuhan mereka atas dasar relasi saling tergantung dalam skala kebutuhan konsumsi wajar, bukan produksi untuk produksi tanpa henti.

Sebagai agenda ke depan, perubahan relasi antara manusia dan alam akan memenuhi prakondisi eco-anarkis apabila dimulai di perdesaan karena masyarakat di dalam ruang perdesaan relatif masih memiliki keterikatan yang kuat dengan alamnya dalam proses produksi maupun kehidupan sehari-hari. Dari kacamata eco-anarkisme terdapat beberapa indikasi kapitalisme yang memiliki efek menghancurkan bagi ekologis yakni simplifkasi atau penyederhanaan kompleksitas ekosistem, contohnya penanaman monocropping; pembuatan hirarki; redusi fisik-mekanis atas spontanitas alam; valuasi ekonomi atas elemen alamiah menjadi resource/sumber daya; spesialisasi pada mesin dan tenaga kerja; konsentrasi kapital dan orang dalam lingkungan industrial raksasa dan perkotaan; stratifikasi dan birokrasi dalam kehidupan sehari-hari; obyektifikasi atas alam dan manusia; dan pemisahan perkotaan dari perdesaan.

Di sisi lain, komunitas ekologis di masa depan adalah komunitas yang memiliki keterikatan kuat dengan ekosistem dimana ia berada, masyarakat lokal yang memenuhi produksinya dari sumber daya dan relasi dengan komunitas sekitarnya secara mutual, masyarakat yang memenuhi konsumsi atas dasar kebutuhan, komunitas tanpa kepemilikan alat produksi privat, desentralisasi perkotaan dalam wilayah-wilayah lebih kecil sehingga memiliki daya dukung bagi kehidupan ekosistem, kesatuan antara industri dan pertanian secara siklis, penerapan teknologi tepat guna dan mudah dibuat secara lokal dan yang paling mendasar atas perubahan sosiopolitik adalah ketiadaan campur tangan negara, sebuah komunitas swa-kelola yang mengelola demokrasi langsung [22] (Baugh dalam Clark 1990; Bookchin 1982).

Rumusan ini sesuai dengan apa yang diutarakan Bakunin mengenai Stateless Socialism bahwa .. every human being should have the material and moral means to develop all his humanity[23] (Maximoff 1953) sedangkan konsepsi mengenai pembebasan atas private property diturunkan dari konsepsi Kropotkin yang mendukung peniadaan private property (namun tetap mempertahankan personal property) melalui pengambilalihan kekayaan sosial oleh masyarakat sendiri untuk perekonomian masyarakat lewat jaringan horisontal dari asosiasi sukarela dimana barang didistribusikan sesuai kebutuhan fisik individual, bukan oleh buruh.[24]

Apakah masyarakat ekologis perdesaan akan muncul sementara desa makin tergerus oleh kapitalisme baik korporasi, negara maupun kaum pencari rente? Tawaran Bookchin melalui eco-anarkisme menawarkan sebuah pilihan gerakan ekologis yang tentu relevan karena jelas-jelas di depan mata bahwa kapitalisme makin menguat, artinya kehancuran ekologis tinggal menunggu waktu jika tak ada tindakan apapun untuk menghadapinya.

Sebagai pengakhir, saya mengutip tulisan John Clark dalam penutup esainya untuk mengungkapkan harapan mengenai sosio-ekologi di masa depan[25] dan yang diimpikan Bookchin dengan istilah Ecotopia:

“The project of a social ecology will certainly gain impetus through the growing awareness of global ecological crisis and deterioration of the ties of human community. Yet it will be moved and inspired most by its affirmative ecological faith — by its love of humanity in all its magnificent expressions”

 END NOTE

[1] Akhmad N. Lutfi, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: sumbangan pemikiran mazhab Bogor. STPN Press, Sajogyo Institute, Pustaka Ifada, 2011. hal. 23

[2] W.F. Wertheim. Indonesian Society in Transition: A study of social change (2nd edition). Sumur, Bandung. I956. Hal 79

[3] Teori lima tahap pertumbuhan yang dicanangkan Walt Whitman Rostow pada tahun 1960 yakni fase masyarakat tradisional, prakondisi take off, take off, era kedewasaan dan terakhir, era konsumsi massa. Era tradisional di desa dianggap adalah sebuah keterbelakangan yang tak bisa diterima dalam pertumbuhan ekonomi.

[4] Clifton D. Bryant (coeditors in chief), Dennis L. Peck.  21st century sociology: A reference handbook . Sage Publication, 2007. Hal 459-460

[5] Loekman Soetrisno. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: sebuah tinjauan sosiologis. Kanisius, 2002. Hal 9-11.

[6] Ibid hal. 21

[7] Joseph E. Stiglitz. Making Globalisation Works: Menyiasati globalisasi menuju dunia yang lebih adil. Mizan, Bandung, 2006. Hal 246

[8] Jarred Diammond. Collapse: How Societies choose to fail or succeed. Penguin Book, London. 2005. Hal. 498

[9] Suryo Adiwibowo (editor). Ekologi  Manusia. Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 2007. Hal 2-3.

[10] Gerald Marten. Human Ecology: basic concept for sustainable development. Earthscan, London-Sterling, 2008. Hal 1

[11] Ibid. Hal 3.

[12] John Bellamy Foster. Marx’s Ecology: materialsm and nature. Monthly Review Press, New York, 2000. Hal 9-11

[13] Murray Bookchin. Social Ecology versus Deep Ecology: A Challenge for the Ecology Movement. Burlington, 1987. Hal 1 dan 17. Diunduh dari www.anarchistlibrary.org, Januari 2016

[14] Murray Bookchin. Toward Ecological Society. Essay dalam Black Rose Books. Montreal, 1980 hal 74. Diunduh dari http://www.anarchistlibrary.org. Januari 2016.

[15] Mengutip istilah Marx “production for the sake of production” dalam Murray Bookchin. Post-Scarcity Anarchism. Black Rose Books. Montreal, 1986. Hal 20

[16] Ibid. Hal 79

[17] Murray Bookchin. Remaking Society: Pathways to a Green Future. Black Rose Book. Montreal, 1990. hal 93-94)

[18] Murray Bookchin. The ecology of Freedom. Cheshire Books Inc. Palo Alto, 1982. Hal 21.

[19] Op. Cit hal. 81

[20] Murray Bookchin. Ecology and Revolutionary Thought. British Monthly Anarchy. 1964. Diunduh dari www.anarchistlibrary.org Januari 2016

[21] Lihat Murray Bookchin. Toward Ecological Society. Hal 74.

[22] Graham Baugh. The politic of social ecology. Essay dalam John Clark. Renewing the Earth: the promise of social ecology. Green Print. London, 1990. Hal 98. Lihat juga Murray Bookchin.The Ecology of Freedom. Hal 318.

[23] Maximoff, G.P. The Political Philosophy of Bakunin. The Free Press, New York , 1953. Diunduh dari www.dwardmac.pitzer.edu, Januari 2016.

[24] Peter Kropotkin. The Conquest of Bread. G.P. Putnam’s Son. New York-London, 1906. Diunduh dari www.dwardmac.pitzer.edu, Januari 2016

[25] John Clark. A Social Ecology. 2000 merujuk pada M. Zimmerman et.al, Environmental Philosophy, second edition. Prentice Hall, 1997.

Bencana Tidak Buta, Ia memilih Korbannya*

Posted in Uncategorized with tags , , , , , , , on Oktober 24, 2013 by lakulintang
Hutan Mati sisa erupsi Papandayan, Garut (Dok. pribadi)

Hutan Mati sisa erupsi Papandayan, Garut (Dok. pribadi)

Sebuah pernyataan sederhana yang jadi judul tulisan ini berasal  dari Dr. Irwan Meilano, salah seorang akademisi dari PPMB-ITB suatu kali menyentak alam sadarku sebagai seseorang yang relatif dangkal soal kebencanaan. Mungkin baginya atau bagi para pendalam ilmu kebencanaan, pernyataan itu bukanlah sesuatu yang luar biasa namun penyataan itu memberikan sebuah tamparan keras pada orang kebanyakan bahwa lantunan senandung bahwa bencana bisa datang kapan saja dan menimpa siapa saja adalah pernyataan yang terlalu menggampangkan dan menyesatkan. Bencana memilih korbannya, ia dipersonifikasikan sebagai suatu entitas yang hidup, maka ia bisa membuat penilaian, ia bisa menghukum, dan ia bisa menentukan siapa yang akan dijadikan korban.

Bencana selama ini berkelindan dengan makna-makna lain seperti kecelakaan, musibah, atau pun kejadian tak diinginkan lain. Apapun kejadian buruk yang tak disengaja selalu dikatakan sebagai bencana. Dari meletusnya gunung berapi sampai lupa membawa SIM saat ada razia kendaraan di jalan bisa dikatakan bencana. Setiap musibah atau kejadian buruk yang menyedihkan mungkin bisa dikatakan musibah bagi kalangan tertentu karena berdampak buruk, sesuatu dikatakan kecelakaan ketika terjadi sebuah fenomena yang tidak terencana tanpa memperhitungkan skala dampak sementara bencana memiliki definisi dan pengertian yang berbeda yang lebih spesifik namun memiliki dimensi yang luas.

Dari rujukan umum definisi bencana, tentu kita mengambil kutipan dari Undang-undang Penanggulangan Bencana no 24 Tahun 2007 yang berbunyi bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dari rumusan ini dapat kita peras poin utamanya ada tiga hal yakni adanya peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat; kejadian tersebut disebabkan oleh faktor alam, nonalam dan juga manusia; serta menimbulkan korban jiwa manusia, lingkungan, harta benda dan kejiwaan. Maka kejadian yang membuat kehidupan sosial limbung karena terdapat korban dan kerugian secara sosial adalah suatu bencana.

United Nation of International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR, 2009) memberikan rumusan yang memiliki pengertian yang punya sudut pandang berbeda yakni bencana adalah gangguan serius atas keberfungsian sistem sosial masyarakat karena adanya kerugian dan dampak pada manusia, harta benda, ekonomi dan lingkungan di luar kemampuan suatu komunitas untuk mengatasinya dengan sumber daya sendiri.  Dalam rumusan ini muncul poin yang tak hadir dalam definisi versi UU PB yakni mengenai kemampuan masyarakat untuk mengatasinya sendiri dengan sumber daya sendiri. Maka sangat wajar jika perspektif kebanyakan orang di Indonesia, apalagi media yang berkecenderungan meletakkan masyarakat semata korban yang tak berdaya tanpa melihat sejauh mana masyarakat secara mandiri mengatasi bahkan memulihkan dirinya sendiri dari suatu kejadian yang merugikan ini.

Masih ada banyak rumusan-rumusan lain mengenai bencana namun cukuplah dari dua definisi di atas untuk melihat poin-poin penting apa saja untuk menentukan apa sih sebenarnya bencana itu. Dari kedua definisi di atas kita bisa mengatakan bahwa bencana bukanlah suatu variabel tunggal, bencana lahir dari kombinasi beberapa variabel, secara sederhana ada sebab, akibat dan respon. Dalam dua rumusan di atas bencana dikatakan terjadi jika ada sebab yang bisa dari alam, non alam dan manusia yang menimbulkan dampak sosial yang serius sementara dampak ini tak mampu diatasi sendiri oleh masyarakat dengan sumber daya sendiri, itulah ketika bencana terjadi.

Kenapa sebab itu terjadi, itu bisa dibagi dari dua faktor yakni sebesar apa kejadian yang telah menggangu tadi, apakah letusan gunung berapi skala IV, apakah gempa 6,5 SR, apakah konstruksi pembangkit nuklir yang tidak meyakinkan, atau puting beliung yang merobohkan pohon-pohon dan menimpa beberapa mobil. Dalam ranah kebencanaan, faktor ini disebut ancaman atau bahaya. Ancaman ini baru dikatakan berbahaya jika menyentuh manusia karena jika tak ada manusia tentunya tak akan ada korban, nah sekarang bagaimana kondisi manusianya. Apakah masyarakat dekat gunung tadi memiliki rencana evakuasi dan tahu tanda-tanda erupsi, apakah masyarakat di daerah gempa membangun rumah dengan pondasi fleksibel dan atap ringan, apakah konstruksi itu sudah diawasi dan ditetapkan sesuai standar yang seharusnya, dan apakah orang-orang akan menyingkirkan mobilnya ketika angin mulai kencang? Semua itu menentukan apakah manusianya sendiri menyadari kelemahan dan situasi berbahaya ini. Jika mereka buta terhadap situasi berbahaya, tentu saja mereka akan berpotensi mengalami kerugian. Variabel ini dikenal sebagai kerentanan.

Variabel ketiga dan sebagai pembanding adalah apakah masyarakat dan infrastruktur maupun kondisi dasar dimana masyarakat berada sudah memiliki standar-standar kemampuan untuk mengatasi dan memulihkan diri ketika ada situasi berbahaya ini? Ini juga menentukan sejauh mana masyarakat akan mengatasinya, berkebalikan dengan kerentanan, kemampuan ini adalah tingkat resistensi yang ada untuk menahan ancaman atau bahaya yang datang. Kombinasi dari ketiga variabel inilah yang akan menentukan tingkat risiko bencana, dan jika kemudian terjadi sebuah kejadian misalnya tsunami di daerah pantai yang tak memiliki tanda-tanda atau petunjuk evakuasi serta ramai pengunjung yang tak pernah mendapat informasi mengenai tsunami, ditambah lagi tak ada petugas penjaga pantai dan diperburuk oleh penuhnya pantai oleh jajaran warung dan parkiran, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi, bencana lah yang akan terjadi karena ketiga variabel tadi bertemu yakni ancaman yang besar (tsunami), kerentanan yang tinggi (pantai padat tanpa akses informasi), serta kemampuan yang rendah (tak mendapat pengetahuan dan informasi mengenai tsunami)

Jika berbicara masalah kemampuan kita berbicara sesuatu yang tidak seragam, ada masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memulihkan diri sementara ada masyarakat yang tak memiliki kemampuan karena berbagai faktor. Seberapa cepat masyarakat mengatasi dampak dan mengerahkan kemampuan untuk memulihkan diri merupakan indikator sejauh mana masyarakat dapat  menghindari bencana. Ilustrasinya begini, sebuah kawasan penuh dengan perumahan padat, sempit, becek, dan kotor di mana kebanyakan bekerja di sektor periferal sementara di sebelahnya berdiri perumahan dengan pagar tertutup, memiliki sistem drainase yang baik, memiliki petugas pengamanan yang dilatih bencana, dan warganya memiliki tabungan dan asuransi. Jikalau terjadi sebuah situ yang berada di dekat mereka meluap dan membanjiri kedua lokasi itu, tentu akan berbeda dampaknya. Pagar perumahan mungkin jebol, air membanjir namun saluran air dengan cepat mengalirkan alir ke luar perumahan, mobil sempat dihajar air dan terendam tapi ada asuransi yang menanggung, sementara di kawasan padat tadi air tak hanya merendam motor dan harta lain tapi seluruh bagian rumah, menghanyutkan semua isinya dan mengganti isi rumah dengan lumpur yang baru akan surut setelah lima hari dengan mesin pemompa air milik pemerintah, setelah itu tak ada yang tersisa kecuali ratapan dan sesal tak terkira karena seluruh harta penjamin masa depan mereka lenyap.

Pada kasus di atas, sebab kejadian yang sama, bahaya yang sama namun kesiapan dan kemampuan yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda. Tak ada bencana di perumahan tadi karena setelah membersihkan rumah dari air dan lumpur, semua akan baik dan normal lagi, sementara di perumahan kumuh, kemiskinan semakin dalam, beban makin bertambah, untuk seberapa waktu mereka tak mampu berdiri di atas kemampuan mereka sendiri, di sini terjadi bencana. Memang biasanya fokus media akan tertuju ke daerah kumuh ini karena ada banyak pilihan gambar dramatis. Ada sepeda anak yang teronggok, buku rapor yang terserak, anak-anak yang menangis di mesjid penampungan atau antrian ibu-ibu mengambil jatah makan. Semua menarik untuk menjadi berita. Akan jarang sekali fokus diberikan pada perumahan sebelahnya padahal di lokasi itulah pembelajaran terbaik sudah dilakukan tentang bagaimana tinggal di daerah yang memiliki potensi bahaya. Ada investasi yang sudah dilakukan jauh-jauh hari, ada kebijaksanaan dalam menentukan tempat tinggal dan kepemilikan aset, ada kesiapsiagaan, ada mekanisme pemulihan cepat. Tak ada bencana di sini, tak ada air mata bahkan justru mereka segera bisa membantu komunitas lain yang tak mampu membantu diri mereka sendiri, tapi sayangnya media tak tertarik pada contoh baik ini. Untungnya, para pemerhati dan praktisi bencana, bahkan pemerintah pun tertarik. Tentu saja dalam batas-batas tertentu.

Melalui UU no 24 Tahun 2007 serta PP no 21 tahun 2008 pemerintah telah menyebutkan siapa saja pelaku bagi penanggulangan bencana, salah satunya adalah masyarakat sendiri, selain pemerintah, swasta dan pihak internasional.  Di sini masyarakat merupakan elemen penting karena mereka lah yang akan mengalami dampak paling awal. Masyarakat memiliki dua sisi tanggung jawab baik berupa hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah selaku pelindung dan pengayom masyarakat serta rangkaian kewajiban yang harus dilakukan demi kemaslahatan mereka sendiri. Dari sisi hak, masyarakat berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman; mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan penanggulangan bencana; mendapatkan informasi tentang kebijakan penanggulangan bencana; berperan serta dalam kegiatan penanggulangan bencana ; dan melakukan pengawasan. Serangkaian hak ini harus dipenuhi oleh negara, namun di sisi lain masyarakat juga berkewajiban untuk menjaga kehidupan sosial masyarakat dan kelestarian fungsi lingkungan hidup; melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana. Dalam kewajiban ini termaktub adanya keharusan bagi masyarakat untuk ikut mempertanggungjawabkan keberadaannya dalam lingkungan sosial dan alam.

Regulasi sudah ada, lembaga pelaksana sudah ada, dana sudah disediakan, perencanaan sudah dalam proses, semuanya sudah mulai berjalan di relnya. Meskipun masih tertatih dengan paradigma baru pengurangan risiko bencana yang menyempurnakan konsep usang tentang semata tanggap bencana, masyarakat seharusnya juga ikut belajar beriringan dengan pemerintah dalam membangun masyarakat yang tahan bencana. Mulai lah untuk berinvestasi di hari ini demi ketangguhan masyarakat, demi keselamatan kita sendiri nantinya. Kenali kerentanan kita dan minimalkan itu, temukan kemampuan kita dan kembangkan itu bersama komunitas, dan kenali ancaman yang ada dan sebarluaskan informasi yang benar dan konstruktif. Sungguh menggembirakan ketika mendengar, membaca dan melihat di mana-mana muncul diaspora komunitas yang peduli dengan bencana, di kalangan menengah muncul forum-forum pengurangan risiko bencana yang berjiwakan kemitraan dengan pemerintah setempat.

Bagaimana dengan Garut kota Intan yang indahnya telah tersemat lama sebagai Swiss van Java, apakah reputasi sebagai daerah dengan indeks risiko bencana tertinggi di Indonesia sudah menjadi pendorong menuju ke arah kabupaten yang tangguh? Pertanyaan yang mungkin akan dijawab seiring waktu di masing-masing individunya. Namun paling tidak, gaung Bulan Oktober sebagai bulan Pengurangan Risiko Bencana 2013 yang diperingati secara internasional juga terasa, bukan hanya coverage tentang kejadian memilukan melainkan juga agar informasi tentang praktik-praktik baik yang telah dilakukan oleh pemerintah, masyarakat sipil serta komunitas-komunitas semakin mendapat tempat dalam ruang pengetahuan dan pengakuan oleh masyarakat luas.

Jauhi ancaman, tingkatkan kemampuan dan turunkan kerentanan yang ada di wilayah ini, niscaya risiko juga bisa dikurangi atau diredam seminimal mungkin. Bencana tidak buta, ia memilih korban, ia memilih siapa yang tidak siap menghadapi ancaman, ia memilih orang miskin yang tak memiliki kemampuan untuk memulihkan diri, ia memilih daerah yang tidak memasukkan pengurangan risiko ke dalam perencanaan pembangunannya, bencana dekat dengan orang-orang yang lupa. Selamat memperingati bulan Pengurangan Risiko Bencana 2013. (ch)

*tulisan ini pernah dimuat di Radar Garut 11/10/13 dan ditujukan bagi khalayak Garut pada khususnya (pen)

Fragmen Pendek tentang Kabut

Posted in Uncategorized with tags , , , , on April 30, 2013 by lakulintang
Fragmen Pendek tentang Kabut (interprint-photo.org)

Fragmen Pendek tentang Kabut (interprint-photo.org)

Sendiri lagi, seperti hari-hari biasa dalam hidupku yang lalu-lalu, terdiam di ruang sepi . Ribuan tepian sabar telah kulewati, tak pernah lelah dan sesal kumiliki ketika tepian itu hanya mengantarku kembali ke jurang sakit yang mendera jiwa.

Namun aku masih saja di sana, mencoba menyentuhmu yang bergerak di depanku namun arahmu tak pernah pasti, siku kaki lelah pun kupaksa tetap berdiri dan melangkah. Sesekali kau menengok ke belakang seakan menungguku, tapi ternyata tidak, matamu hanya ingin memastikan bahwa aku masih ada dan tetap berjalan sehingga kau punya alasan untuk melangkah lebih cepat, bahkan terkadang berlari. Nafasku seakan berhenti tapi kau tak pernah tahu itu.

Kali ini aku berhenti.

Aku harus berhenti agar aku memiliki waktu untuk berpikir, meneruskan langkahku atas nama cinta tulus iklhlas yang begitu sederhana ini atau kah mematuhi suara di kepalaku yang berdentam-dentam memintaku untuk berhenti dan mengambil  arah yang berbeda di persimpangan terdekat yang ada  di depanku, membiarkanmu memimpin dirimu sendiri. Semata karena akal sehatku telah mengatakan bahwa kau tak hendak diikuti, pun tak hendak mengikuti siapapun kecuali pikiran dan ujung terowongan pencarianmu. Sahabatmu adalah mimpi dan jiwa sepimu, bukan aku yang tak pernah berada di sampingmu,  yang tangannya tak pernah kau genggam erat.

Aku lelah…

“Kau menyerah,” tanyanya dengan mata menantang mataku.

Aku lihat mata itu berisi keputusasaan, tersembunyi dalam merahnya amarah.

“Aku tak sanggup lagi menemanimu bertarung kekasihku karena yang kau hadapi adalah dirimu sendiri yang tak mungkin kau kalahkan, dirimu terlalu lemah di depannya. Namun amarah perlu musuh, dan musuh khayalimu itu kau wujudkan dalam bentuk aku,” jawabku, dalam letih tak terperi.

Tak sanggup kutantang matanya, itu bukan mata kekasihku lagi. Ia orang yang lain, dan itu menakutkanku saat itu.

“Apa maksudmu? Tanyanya lagi. Namun kurasa ia paham maksudku, ia hanya ingin menegaskan bahwa aku salah satu musuhnya saat ini.

“Aku di sampingmu tapi bukan sahabatmu, aku adalah beban yang membuatmu melambat, karena itulah di pundakku lah semua kemarahanmu tertumpah. Kau tak mampu meninju musuh di depanmu, musuh imajinermu itu, lalu padaku lah itu kau tumpaskan.”  Tersadar ku bahwa ini seperti menumpahkan minyak di api yang membara.

Namun yang terjadi selanjutnya betul-betul di luar perkiraanku.

Ia melepaskan semua bawaannya, beban yang memberati punggung drama hidupnya, kemudian bersimpuh, lutut tangguh itu tertekuk dan kepalanya tertunduk layu. Dua butir air mata jatuh ke rerumputan kering di bawah wajahnya. Ia menangis, sang batu karang angkuh ini menangis.

“Ka, kau kenapa? Kenapa kau menangis?” Suaraku bergetar, ku tahu ini perulangan, seperti yang biasa terjadi sebelum-sebelumnya, kelemahanku terbesar. Ku tak sanggup melihat air mata dari sang perkasa yang selama ini aku cintai dengan segenap jiwaku.

Aku beringsut mendekatinya, inginku mengusap air mata itu dan memeluknya seperti yang hari-hari yang lalu, sentuhan yang selalu membuatnya kembali.

Namun ia mengibaskan lengannya, menolak tubuhku yang mendekatinya. Diiringi sebuah tarikan nafas panjang ia tiba-tiba berdiri, menatapku. Kali ini telanjang matanya ku lihat bening, ia kesepian dan putus asa.

Ia mendekatkan wajahnya padaku, tanpa kata,  sebuah kecupan lembut kurasakan di keningku.

“Maafkan aku, kembalilah ke tempatmu berada dan hidup selama ini! Aku harus melanjutkan jalanku, sendirian! Selamat tinggal,” bisiknya tanpa melihat wajahku lagi.

Aku belum sempat berkata apapun ketika ia berbalik dengan cepat, berjalan..bukan, ia berlari masuk ke rimbun pepohonan dan kabut pagi itu.

“Kau telah memilih jalanmu, gerakmu tetap tak pasti dalam memburu ujung pelangimu, tapi kali ini, aku tak akan menunggumu di sini. Selamat jalan pemandu jiwaku, salah satu manusia terbaik yang pernah kucintai,” bisikku pada udara kosong di depanku.

“Aku akan kembali seperti katamu namun ijinkan aku singgah di tepian samudra agar kubasuh semua cairan luka ini bersama hempasan ombak. Jikalau kau menemukan titik-titik air mataku di tengah ombak itu, ada pesan di dalamnya, bacalah dan kau akan mengerti berapa kadar cintaku padamu.”

Langkah pertamaku menuju pulang pun menekan tanah basah.

Sebuah garis cahaya yang tadi di belakang punggungku menyambutku kembali menyusuri jalan pulang pagi itu. Sebuah episode pendek cerita cinta telah berakhir dan tak seperti sinetron, ia tak memiliki sekuel.

Cahaya itu lah yang terakhir kulihat, setelah itu rasanya pepohonan dan ranting-ranting menari di mataku, kemudian…..gelap! (ll)

Gunung Awu, antara Mitos dan Kenangan akan Kehancuran

Posted in Uncategorized with tags , , , , , on Maret 14, 2013 by lakulintang

Selepas magrib, kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak di antara kebun-kebun kelapa dan pala milik penduduk Desa Angges, Tahuna, ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe, nun jauh di sana di Pulau Sangihe Besar di tengah Laut Sulawesi. Sesekali kami bertemu dan bertegur sapa dengan para petani yang baru pulang dari kebun mereka, sampai akhirnya hari sudah sangat gelap dan tak ada lagi orang yang kami temui di jalan. Kami melanjutkan perjalanan kami sambil sesekali berdiskusi tentang segala macam mulai dari takhayul, sosial budaya masyarakat Sangihe, mimpi-mimpi generasi muda Sangihe, sampai tentang kisah erupsi dari gunung berapi ini. Tak disangka jika gunung yang relatif tidak tinggi jika dilihat dari permukaan laut ini menyimpan kisah yang begitu dahsyat dan kisah itu tetap hidup sampai saat ini di segenap memori dan alam pengetahuan masyarakat Sangihe atau Sangir.

Gunung Awu tampak dari Kendahe
Gunung Awu merupakan salah satu dari 129 gunung berapi yang ada di lintasan cincin api nusantara meskipun tidak berada di lempeng Indo-australia, Pasifik atau Eurasia melainkan di lempeng Filipina. Awu dalam Bahasa Sangihe berarti abu atau sisa sehingga dipahami oleh masyarakat Sangihe bahwa sosok Gunung Awu saat ini hanyalah sisa dari sosok Gunung Awu di masa lalu yang pernah menghadirkan katastrofi yang begitu dahsyat. Awu saat ini hanya berjarak sekitar 5-7 kilometer dari kampung-kampung sekitar, tampak berselimut kebun-kebun kelapa dan pala, diramaikan oleh pemukiman penduduk, kadang nampak berkabut, bersemayam dalam damai dan memberikan kesuburan luar biasa bagi kebun-kebun pala, cengkeh, dan kelapa milik masyarakat. Namun masyarakat Sangihe sadar bahwa suatu saat gunung itu akan meledak kembali entah kapan, mereka tak mungkin lupa kisah-kisah tentang gunung ini.

Gunung Awu adalah satu gunung bertipe stratovolcano yang berlokasi di bagian utara Pulau Sangihe Besar, Kepulauan Sangihe. Memiliki profil setinggi 1320 m dari permukaan laut namun jika dihitung dari dasar laut tingginya mencapai 3300 meter. Dari catatan Smithsonian Global Volcanism Program, Gunung Awu pernah meletus pada tahun 1640-41, 1711, 1812, 1856, 1875, 1883, 1885, 1892, 1893, 1913, 1921, 1922, 1930, 1966, 1992, dan yang terakhir adalah 2004. Total telah merenggut sekitar 8000 nyawa dan ribuan orang harus mengalami cidera, kerusakan pemukiman, dan pengungsian besar-besaran. Dari daftar peristiwa letusan di atas, letusan pada tahun 1711, 1856 serta 1966 adalah yang tercatat cukup besar.

Letusan Awu tahun 1966 (oleh J MatahelumualVolcanological Survey Indonesia)

Rimpulaeng Macpal, 55 tahun, seorang masyarakat Kendahe menuturkan bahwa saat itu tanggal 12 Agustus 1966, ia masih di sekolah ketika pada jam 9 pagi, ada yang berteriak-teriak karena melihat munculnya asap hitam dari arah puncak Awu. Seketika orang-orang berlarian menuju rumah masing-masing, dan seiring dengan keriuhan itu pada pukul 9.30an terjadilah hujan batu pijar menghantam kawasan kampung Kendahe yang berada di sebelah barat Gunung Awu ini. Hujan batu pijar ini terus terjadi sampai tengah hari. Seusai hujan batu pijar ini, bergelombanglah pengungsian oleh penduduk menuju lokasi aman yang mereka telah tentukan yakni di sebuah pantai di sisi utara kampung melalui jalur laut, namun ada juga yang tetap bertahan di mesjid atau gereja. Setelah reda, saat semua orang telah kembali, mereka menyaksikan kampung mereka telah terbakar, atap-atap rumah-rumah hancur oleh batu pijar maupun abu vulkanik. Kondisi inilah yang memaksa sebagian besar warga kemudian diungsikan dan tinggal di Bolaang Mongondow.

Tak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa Awu akan meletus hari itu. Namun menurut Ridion Sasiang, seorang tokoh masyarakat Kendahe sebenarnya ada tanda sebelum kejadian itu menurut orang-orang tua yakni munculnya orang gila di kampung entah dari mana yang berteriak-teriak bahwa gunung akan meletus dan menyuruh orang-orang pergi. Namun tak ada yang terlalu memperhatikan peringatan dari orang gila itu.

Pada letusan tahun 1856 tak ada catatan dari dalam negeri namun ada yang berasal dari luar negeri. Berikut catatan dari Sydney Morning Herald pada tanggal 11 November 1856. “..pepohonan tercerabut dan tersapu dalam suara gemuruh, diikuti sejam kemudian oleh suara guntur yang menggoncangkan bumi dan memekakkan telinga. Batu-batu dan abu berbentuk kolom seolah ditembakkan dari gunung ke atas dan kemudian jatuh, terang oleh lava membuat semua tampak seperti hujan api…batu-batu besar dilontarkan ke udara, menghancurkan apapun yang ditimpanya. Rumah-rumah dan tetanaman yang belum sempat dihancurkan oleh api tenggelam dan hilang di bawah debu dan batu..” Letusan tahun 1856 ini merenggut 2806 nyawa manusia (John Seach, volcanolive.com)

Namun tak ada yang seluar biasa dan se-monumental kejadian erupsi gunung ini pada tahun 1711 tepatnya pada tanggal 10 Desember. Menurut Science Daily pada tahun itu sebuah ledakan berskala indeks Moderate-Large menghancurkan beberapa kawasan di pulau ini dan merenggut 3000 jiwa akibat awan panas serta gelombang ledakan dari magma. Akan tetapi terdapat sebuah catatan yang sangat menarik selain kejadian geologis semata mengenai kejadian ini. Masyarakat Sangihe khususnya Kendahe mengingat masa ini sebagai masa paling kelam dalam sejarahnya karena dalam angka 3000 tersebut, juga terdapat anggota kerajaan junjungan mereka, nenek moyang mereka yang tenggelam bersama seluruh kerajaan dan “kota” Maselihe yang indah.

Menurut masyarakat Kendahe dan Sangihe umumnya, pada saat itu tak hanya letusan gunung yang membunuh melainkan juga terjadi angin puting beliung dan tsunami hebat sehingga kejadian itu dianggap sebuah malapetaka besar. Keyakinan lain adalah bahwa kejadian multibencana inilah yang menyebabkan kerajaan tenggelam (secara harafiah) ke dalam laut dan meninggalkan sebuah daerah tak berpenghuni yang sekarang dikenal dengan nama Tanjung Maselihe, tanjung yang terbentuk akibat tenggelamnya tanah dan kerajaan Maselihe di masa lalu.

Cerita ini kemudian berkembang antara sejarah dan mitos, berkelindan dalam memori segenap warga Sangihe bahwa mereka tinggal begitu dekat dengan bahaya. Awu adalah bahaya sekaligus berkat bagi mereka. Namun kejadian tersebut tak kemudian hilang, melalui mitos berkembanglah pembelajaran turun temurun, kisah yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi agar selalu orang-orang mengingat dan memandang penting keberadaan G. Awu bagi kehidupan mereka. Di Sangihe ada dua mitos yang terkait dengan gunung ini, yang pertama adalah Legenda Raksasa Bakeng dan yang lain adalah Mitos Maselihe. Keduanya bercerita tentang relasi antara tindakan manusia dan akibat-akibatnya.

Legenda raksasa Bakeng adalah legenda yang bercerita tentang seorang raksasa pemakan manusia yang ditipu oleh dua orang pemuda pemberani yang berjuang melepaskan saudari mereka dari ancaman dimakan oleh sang Bekang. Raksasa ini ditipu dengan menukar saudari mereka dengan anak sang raksasa sendiri, maka terjadilah hal paling memilukan yakni raksasa itu memakan anaknya sendiri. Dalam marah sebelum kematiannya, sang raksasa mengeluarkan kutukan bahwa matanya akan selalu melihat mereka dan akan membakar anak keturunan mereka. Kematian raksasa ini menandai munculnya Gunung Awu.

Mitos Maselihe berkembang dari kejadian sebenarnya yakni erupsi tahun 1711 (catatan mengenai angin puting beliung dan tsunami tidak tersedia) berkaitan dengan tenggelam dan hilangnya Kerajaan Maselihe (ini juga catatan sejarah sesungguhnya) akibat bencana besar itu. Ada keyakinan pada sebagian besar masyarakat (namun ada juga yang menolak teori ini) bahwa bencana besar itu merupakan jawaban alam akan pelanggaran besar yang dilakukan oleh sang raja yakni mengawini anak kandungnya sendiri.

Yang menarik dari mitos-mitos di atas adalah adanya kemiripan kisah di mana terdapat orang tua yang berbuat tidak pantas pada anaknya sendiri, terjadinya pelanggaran atas tabu besar dan bahwa alam tidak buta. Ia akan menghukum tindakan manusia yang lupa dan tidak menghargai hal-hal suci. Namun bila ditarik lebih jauh, keberadaan mitos dan legenda ini secara tidak langsung adalah pelanggengan pesan bahwa masyarakat Sangihe pernah mengalami bencana di masa lalu dan mereka selalu diintai oleh ancaman yang sama selama mereka tinggal di sana, maka selalu lah waspada dan ingat untuk menjaga setiap perilaku manusia baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam semesta. Bukankah mitos adalah salah satu cara mengantarkan pesan.

Tak terasa, perjalanan sekitar 4 jam mengantar kami di sebuah punggungan bukit di mana terdapat sebuah tanah agak lapang untuk membangun tenda. Dari sana pemandangan di bawah sungguh indah di mana ujung-ujung dataran tinggi sekitar Sangihe tampak menjulang di antara kegelapan di mana Laut Sulawesi mengelilinginya. Di atas kami sebuah lingkaran cincin bulan tampak utuh tanpa penghalang sementara di belakang kami tampak dinding bervegetasi yang akan kami daki nanti menuju puncak. Seluruh cerita dan refleksi tadi ikut berenang dalam pikiran bercampur dengan dinginnya malam. Menjadikannya pengantar tidur yang sempurna.
Pagi dini hari, saat gelap masih menyelubungi sekitar, kami mengepak kembali peralatan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak kawah G Awu yang terkenal itu. Medan yang tadinya bersemak dan penuh ilalang berubah menjadi lapisan batuan lava yang mengeras layaknya gunung api bertipe strato. Matahari mulai muncul di sisi timur dan menerangi permukaan bumi, menyibak hijaunya hutan yang semalam kami lewati dan membuka sinar keemasan yang terpantul dari laut. Sampai di puncak, kami berdiri di tepian kaldera namun tak bisa melihat ke dalam karena masih penuh kabut. Saya menunggu sambil penasaran ingin melihat kubah lava dan danau yang terbentuk sejak letusan 1922 yang sempat hancur oleh letusan 1931 dan 1966 sedangkan saat ini kubah ini kembali tumbuh.

Akhirnya kabut pun menghilang dari kawah dan tersajilah sebuah pemandangan indah di mana sebuah kubah lava tumbuh di tengah-tengah kawah dan masih mengeluarkan asap solfatara. Di sekitarnya masih tampak air yang merupakan sisa dari danau kawah di masa lalu. Keberadaan kubah lava di tengah-tengah kawah itu seolah menjadi jam weker bagi semua orang bahwa gunung itu masih tumbuh dan suatu hari ia akan meledak.

Semoga semua kisah-kisah dari masyarakat sekitar serta adanya kekayaan ilmu dan teknologi akan mampu bersinergi untuk membangun sebuah kebijaksanaan dalam sikap dan perilaku dan di sisi lain semakin menguatkan kewaspadaan akan bahaya yang ada. Selain itu rasa syukur perlu diungkapkan setiap hari pada Awu karena gunung inilah yang memberkati masyarakat Sangihe dengan air berlimpah dan tanah yang subur sehingga fuli-fuli pala tetap indah dalam merahnya dan para-para petani kelapa tetap berasap karena selalu ada kelapa yang diasapi di sana untuk dijadikan kopra. (ll)

Kubah Lava Awu tampak pada tahun 1931 (photo oleh  Volcanological Survey Indonesia)

Kubah Lava tampak pada Januari 2012

Kita adalah Apa yang Kita Ucapkan (Repost Oct 2012)

Posted in Uncategorized with tags , , , , on Januari 10, 2013 by lakulintang

Makna di balik yang terucap

Lebih dari satu kali, bahkan sering sekali saya mendengar keluhan dari para ekspatriat yang kebetulan belajar Bahasa Indonesia mengenai kesulitan untuk memahami teks atau perkataan orang Indonesia ketika orang Indonesia menggunakan istilah asing yang telah di-“Bahasa Indonesia”-kan. Kata-kata seperti sosialisasi, opsi, akuntabilitas, bully, preferensi, transparansi dan banyak kata lain justru menjadi bagian paling sulit untuk dikenali ataupun diucapkan oleh para penutur asing. Keluhan lain yang sering mereka ungkapkan adalah orang Indonesia malah menertawakan mereka ketika mereka menggunakan istilah bahasa Indonesia dan struktur formal seperti yang dianjurkan oleh para ahli bahasa. Akhirnya muncul ungkapan yang sedikit bernada frustrasi dari mereka: Bahasa Indonesia yang benar itu seperti apa?
Pertanyaan ini jadi sebuah refleksi bagi saya sendiri baik selaku instruktur bahasa (pen. dahulu) maupun sebagai orang Indonesia (pen. sampai saat ini): Apa makna Bahasa Indonesia bagi orang Indonesia sendiri?
Jika bicara tentang makna bahasa maka saya memutuskan untuk berangkat dari pengertian bahasa menurut Ferdinand de Saussure bahwa bahasa adalah sistem tanda-tanda yang mengekspresikan gagasan-gagasan (dalam Arthur Berger, Media Analysis Techniques, 1982). Seorang penutur akan mengirimkan atau mengomunikasikan konsep, gagasan dan pemikiran pada penerima. Sebaliknya, sang penerima nantinya akan menafsirkan makna dari pesan-pesan tersebut, medianya adalah bahasa. Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa selain kesepakatan akan tanda yang sama,ada yang disebut mental representation yakni penggolongan konsep-konsep yang bersifat subyektif dan individual. Masing-masing orang memiliki perbedaan dalam menggolongkan konsep dan hubungan di antara semua pesan itu (Stuart Hall, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, 1997). Intinya, selain kesepakatan kedua pihak mengenai arti, ada pesan yang tidak selalu tampak ketika seseorang berbahasa, ada hal lain yang ingin disampaikan.
Dampak dalam bentuk yang kongkret tampak pada persoalan yang dikeluhkan para ekspatriat di alinea pertama tadi yaitu mengenai “siapa aku”. Dengan menggunakan bahasa asing atau istilah maupun jargon-jargon, seseorang sedang menjelaskan siapa dia sebenarnya, bahwasanya ia adalah seorang yang berpendidikan dan berwawasan. Memang makna asalinya dapat dipertukarkan dan saling dimengerti namun niatan penuturnya tidak bisa dipertukarkan. Jika dipaksakan maka akan muncul reaksi sebal seperti pada ekspatriat yang belajar bahasa Indonesia tadi. Hal itu dikarenakan bahwa pembahasaan dengan bahasa asing adalah sebuah usaha pamer yang tidak berguna karena tentu saja para penutur asli bahasa asing tersebut lebih jago daripada orang Indonesia selaku penutur asing.
Maka di permukaan sebenarnya masalah ini sederhana saja yakni usaha pamer diri namun dalam kerangka yang lebih luas justru menunjukkan kerendahan diri orang Indonesia (yang notabene berpendidikan) di hadapan simbol internasional seperti Bahasa Inggris misalnya. Hal serupa muncul dalam bentuk latahnya orang Indonesia dengan konsep sekolah berstandar internasional (yang kualitasnya tidak berbeda dengan sekolah yang tidak mencantumkan kata internasional).
Cara mengatasinya bagaimana? Bisa saja penutur itu diingatkan agar tidak perlu sok-sokan berbahasa asing, ingatkan bahwa di dalam Bahasa Indonesia sudah ada padanan kata itu. Ingatkan bahwa dia akan tampak seperti orang sok pintar alih-alih seorang intelektual. Akan tetapi bila kita melihat jauh ke dalam terdapat masalah yang sangat penting yakni orang Indonesia tidak tahu sejarahnya sendiri, dan bukankah hal ini lah yang menjadi sumber masalah di banyak bidang di Indonesia seperti ekonomi, teknologi, pendidikan, arsitektur, tata ruang dan banyak lagi?
Bahasa Indonesia adalah anak evolusi bangsa
Sudah diakui bahwa kebanyakan orang Indonesia menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua setelah bahasa ibu mereka masing-masing yakni bahasa sukunya. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan untuk menyatukan keragaman itu di dalam kerangka kejiwaan maupun terapan agar “seolah-olah” ada yang disebut “Bangsa Indonesia” seperti yang pernah diulas oleh Benedict Anderson (Benedict Anderson, Imagined Community, 1991). Meskipun begitu, lahirnya Bahasa Indonesia telah melalui proses panjang dan mendalam serta melibatkan sisi terdalam orang Indonesia yakni kepemilikan identitas bersama.
Seperti telah diketahui banyak orang, Bahasa Melayu merupakan dasar bagi Bahasa Indonesia dan salah satu bahasa tertua yang digunakan secara luas di nusantara. Sejak abad ke-7 (dari temuan prasasti tua seperti Talang Tuo/Bangka/686M atau Kedukan Bukit/Palembang/693M) Bahasa Melayu telah dipakai. Alasan pemakaian Bahasa Melayu ini ada empat yakni sebagai bahasa kebudayaan, sebagai bahasa perhubungan, sebagai bahasa perdagangan dan sebagai bahasa resmi kerajaan.
Bahasa Melayu kemudian berkembang luas di seluruh pelosok nusantara dan digunakan sebagai alat komunikasi penduduk antar pulau. Pencanangan bahasa ini menjadi bahasa persatuan tampak jelas pada tahun 1928 saat Sumpah Pemuda dinyatakan. Setelah melalui perdebatan antara Moh Yamin dan Sanusi Pane di Kongres Pemuda I tahun 1926 yang hendak memilih “Bahasa Melayu” atau “Bahasa Indonesia” dalam teks Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan, akhirnya “Bahasa Indonesia”-lah yang dipilih. (Ari Subagyo, Masalah Utama Bahasa Indonesia, 2003)
Bahasa Melayu memiliki beberapa kondisi yang dinilai memenuhi syarat untuk menjawab kebutuhan sejarah saat itu yakni: 1. Bahasa Melayu merupakan Lingua Franca yang digunakan dalam perhubungan dan perdagangan; 2. Sistem Bahasa Melayu sederhana dan tidak mengenal tingkatan bahasa; 3. Perwakilan suku-suku di Indonesia menerima; 4. Bahasa Melayu memiliki kesanggupan untuk digunakan sebagai bahasa kebudayaan dan ilmu pengetahuan (jaririndu.blogspot.com, 2012)
Bahasa Indonesia kemudian berkembang luas dan mengambil jalur evolusinya sendiri sehingga berbeda dengan akarnya yang masih digunakan di sekitar Semenanjung Malaya. Bahasa Indonesia terus tumbuh dan hidup dengan ragam budaya nusantara maupun budaya di luar nusantara, proses yang memperkaya Bahasa Indonesia sampai saat ini.
Kembali bangga pada bahasa kita
Sebagai anak kebudayaan, Bahasa Indonesia terus berkembang dan memunculkan kata-kata baru baik yang dipengaruhi dari ragam bahasa asali nusantara maupun bahasa asing seperti Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis serta bahasa asing lain. Hal ini tidak bisa dihindari karena sifat Bahasa Indonesia yang terbuka dan arbitrer (berdasar kesepakatan kedua pihak antara pemakai) sehingga ada banyak kata atau istilah baru yang hadir, khususnya istilah keilmuan. Hasil akhirnya adalah naturalisasi kata dimana kata itu berasal dari bahasa asing namun pengucapan maupun penulisannya disesuaikan dengan gaya orang Indonesia seperti beberapa kata di alinea pertama tadi.
Masalah terbesarnya, jangan-jangan muncul perasaan bahwa Bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang membanggakan bagi orang Indonesia sendiri. Fenomena pemakaian kata campuran, khususnya dalam acara-acara resmi atau formal menunjukkan semakin lunturnya kekuatan Bahasa Indonesia sendiri, lunturnya kebanggaan pada identitas budaya hasil sejarah ratusan tahun. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu pengarang besar Indonesia yakni Pramoedya Ananta Toer (“Pram Melawan” oleh Hasudungan Sirait dkk, 2011) tentang Bahasa Indonesia, Pram menyatakan “…dengan kata-kata asing orang merasa lebih hebat. Sama dengan kenyataan hidup sebagai konsumen, semua dari luar negeri diimpor, mulai tusuk gigi sampai mobil…padahal tusuk gigi itu kayunya dari kita. Mobil berbaris lima di jalan dan tak satupun buatan kita..” Lebih lanjut lagi Pram menyatakan bahwa bahaya dari mengimpor berlebih kata dan apa saja ini hanya akan menciptakan terjadinya kemerosotan nasional. “Orang Indonesia hanya akan menjadi kuli, mampu mengimpor tapi tak mampu mengekspor,” begitu pendapatnya.
Mengenai pendapat Pram di atas, kita bisa sepakat bisa juga tidak tapi sejauh ini rasanya kita harus memberi penghargaan sebesar-besarnya atas usaha keras Pusat Bahasa yang telah mendata dan menyediakan padanan bagi istilah-istilah yang hasilnya tertuang dalam Tesaurus Bahasa Indonesia 2008 namun semua tetap kembali pada masyarakat Indonesia sebagai pemakainya. Jika masyarakat tetap lebih suka memakai download alih-alih “mengunduh” misalnya, maka usaha keras untuk menguatkan Bahasa Indonesia tetap akan sia-sia. Demikian pula kehadiran Undang-undang Kebahasaan Nomor 24 Tahun 2009 pun akan tak berarti. Selaku warga negara, sebagai putra-putri sejarah setiap orang Indonesia seharusnyalah mendorong orang-orang di sekitarnya untuk mengembangkan bahasa ini karena Bahasa Indonesia adalah kita, jika bahasa kita berkembang maka kita pun berkembang dan sebaliknya jika kita lebih suka membanggakan diri untuk menjadi “tukang impor” maka sebagian budaya akan berhenti, dan kita pun akan berhenti. Selamat memaknai Bulan Bahasa ini. (ll)

Kisah Burung Layang-layang, Ilalang, dan Sang Pangeran*

Posted in Uncategorized with tags , , , , on Desember 5, 2012 by lakulintang

The Happy Prince (tumblr.com)Kali ini aku cuma hendak bercerita, sebuah kisah yang kuceritakan sebelum kau tertidur lelap. Kan kuhantarkan kau dalam istirahatmu yang tenang untuk menyambut mentari esok pagi. Berkenankah dirimu mendengarnya kekasihku? Beginilah kisahnya…

Alkisah diceritakan tentang seekor burung yang jatuh cinta pada sebuah rumput ilalang. Saat musim gugur hampir usai, lengan-lengan musim dingin mulai merengkuh, merayu setiap makhluk dalam belaiannya yang mematikan. Namun tak semudah itu kematian menyentuh kehidupan, kehidupan bukanlah pecundang bahkan bagi seekor burung layang-layang sekalipun.

Dalam sebuah kelompok besar, burung-burung itu bersiap untuk berangkat ke selatan, mencari lokasi hangat yang lebih ramah bagi mereka, bukan dingin yang mematikan jantung itu. Sesampainya di sebuah padang rumput dimana terdapat sebuah kolam yang masih berair melimpah, berhentilah mereka untuk membasahi kerongkongan mereka sembari beristirahat setelah melintasi langit dalam jarak puluhan kilometer. Di sekitar kolam itu, berjajarlah dengan rapat berkelompok-kelompok rumput ilalang. Dalam tiupan angin di dataran, para ilalang itu menari-nari ke kanan dan ke kiri, meliuk dalam iringan angin musim itu, bagaikan sekelompok penari yang sedang menampilkan diri di depan sang raja dengan indahnya.

Pada satu kesempatan, mata sang burung layang-layang terpaku pada sebatang ilalang yang ada di tengah padang itu, jangkung langsing ilalang tersebut, menjulang di antara yang lain. Dan karena itulah ia tampak menonjol dalam gerak tarinya, tubuh langsingnya bergerak lembut seirama angin, tampak begitu menawan gerak tubuhnya. Mata sang layang-layang pun terkesima, takjub, dan merasa sangat nyaman, seolah ia lah raja yang sedang disuguhi tarian lembut mempesona. Hatinya pun leleh, matanya tak pernah berkejab, dan tersadar ia ketika tiba-tiba sudah ada di dekat sang ilalang. Berada di dekat ilalang itu sang layang-layang merasa menemukan kedamaiannya, aman meski sendiri terlepas dari kumpulannya, berani meski dalam kesepian. Saat kelompok besarnya kembali mengangkasa menuju selatan, sang layang-layang yang sedang dimabuk cinta itu memilih tetap di dekat ilalang yang ia cintai. Sang ilalang pun tak lelah menari, menghibur sang layang-layang, terkadang senyum manis diberikannya pada sang layang-layang bahkan saat pengagumnya itu terlelap. Dan waktu pun berjalan, berhari-hari tak jemu sang layang-layang berada dalam pesona dan buaian keindahan tarian ilalang, sampai akhirnya ia tersadar bahwa ia harus pergi ke selatan demi hidupnya, sebentar lagi musim dingin akan datang dan membekukannya.

“Ikutlah denganku hai ilalang yang cantik! Aku tak mau kehilangan tarianmu..” pinta sang layang-layang.

“Maaf kekasihku, aku ingin sekali bersamamu karena kamu setia mendampingiku dalam beberapa hari ini, bahkan kaupun rela ditinggalkan oleh saudara-saudara demi aku tapi sadarlah, aku hanya akan menemui kematian jika mengikutimu. Hanya kesedihan yang akan kau peluk nantinya. Pergilah dan biar aku di sini menunggumu hadir kembali saat kau kembali ke utara atau saat menuju selatan! Aku akan tetap di sini untukmu…” ujar sang ilalang dalam wajah teduhnya.

Setelah mencoba berkali-kali meyakinkan sang ilalang agar ikut bersamanya, akhirnya sang burung layang-layang menyerah. Dalam rasa gusar dan kecewa, ia pergi dan merutuk sang ilalang:

“Percuma saja semua pengorbananku kemarin, kudampingi setiap saat, kulindungi dari ancaman makhluk buruk siang dan malam..tapi ia lebih mencintai dirinya sendiri. Aku tahu ia cuma mencari alasan agar tak pergi bersamaku. Huuh…biar aku jalani apa yang jadi hidupku sendiri tanpa ilalang pesolek itu!”

Tak pernah sang layang-layang tahu, jauh dari ketinggiannya, di pinggir danau itu sang ilalang tak lepas memandangnya, dari sejak terbang dari depannya kemudian membelah udara, mengecil dan makin mengecil sampai akhirnya hilang dari pandangannya. Ia menangis diam, dalam uraian air matanya sang ilalang bergumam: “Engkau adalah burung, dan terbang adalah hidupmu. Jika engkau di sini engkau yang akan mati kekasihku, dan aku tak hendak menyaksikan kematianmu karena aku menyayangimu. Biar aku jaga rasa sayangku di sini dan menunggumu untuk datang kembali, itupun jika kau percaya bahwa apa yang kulakukan ini adalah hal terbaik bagimu.”

Hari itu sang ilalang terkulai dalam tariannya bersama angin lembah itu, dan air mata itu tak juga kering sampai malam memeluk rapat. Dalam mimpinya, sang layang-layang kembali dan menciumnya untuk yang terakhir kali.

—————

Sudah lelapkah kau sayangku? Ingin rasanya menghentikan kisahnya di sini tapi cinta tak sesederhana itu, masih ada babak di mana cinta mengajari kita bahwa pengorbanan adalah nama lain dari cinta yang suci. Kuteruskan ya…!

Dalam rasa marahnya, sang layang-layang terbang membelah udara menuju selatan, sendirian. Setelah melalui jarak yang panjang melintasi bukit dan lembah, sampai lah ia di sebuah kota. Sebenarnya ia hendak melewati saja kota itu karena kota bukan tempat yang nyaman baginya. Namun sebuah kilau dari tengah kota menarik matanya. Sekali lagi rasa penasaran membawanya turun dan mendekati sumber kilau itu, ternyata sebuah patung berbentuk pangeran yang terbungkus kuningan, bermata kristal dan membawa sebuah pedang dengan mata rubi di gagangnya. Indah, gagah sang pangeran yang berdiri di sebuah monumen yang tinggi di pusat kota yang sibuk siang itu.

“Hmm mungkin bisa kupakai untuk istirahat sebentar,”begitu pikir sang layang-layang

Maka ia pun hinggap di bawah patung, terhindar dari terik matahari, teduh dan sejuk dirasakannya. Untuk waktu yang tak lama iapun mulai tenggelam dalam tidurnya. Tiba-tiba ia terjaga karena sebuah titik air yang jatuh di kepalanya.

“Apakah hujan datang?” pikir sang layang-layang. Tapi tak ada hujan sore itu. Tak menemukan jawaban, ia pun melanjutkan istirahatnya. Selang beberapa menit ia kembali terbangun karena sebab yang sama, setitik air jatuh di badannya.Rasa penasaran membuat burung itu terjaga, memandang langit di atasnya siapa tahu ada rombongan migrasi yang melintas. Tapi tak ada rombongan lain.

“Darimana datangnya air tadi?” masih penasaran sang layang-layang rupanyq. Semula ia hanya menautkan pandangnya ke titik jauh, namun saat ia hendak kembali rehat matanya tertumbuk pada sang patung. Patung itu menangis. Dari kedua matanya, tampak aliran itu muncul, memanjang di pipi dan sebagian jatuh di mana ia tadi tertidur.

“Kenapakah kau bersedih pangeran?” tanya sang layang-layang.

“Bagaimana aku tak sedih kawan baruku, aku berdiri di sini dari waktu ke waktu dan bisa kusaksikan apa yang terjadi di sekelilingku.

Betapa banyak ketidakberuntungan yang menerpa orang-orang baik yang selalu bekerja dengan keras dan jujur? Dan bagian terburuknya adalah aku tak bisa melakukan apa-apa…” keluh sang pangeran.

“Ceritakanlah padaku, mungkin bisa meringankan bebanmu!” jawab sang layang-layang.

“Baik sekali dirimu kawan baruku padahal kau baru mengenalku! Maukah engkau membantuku?” tanya sang pangeran lagi.

“Aku bisa mendengarkanmu bercerita tapi untuk melakukan yang lain aku tak yakin karena aku harus pergi ke selatan, sebentar lagi musim dingin tiba..” ujar sang layang-layang jujur.

“Kumohon, tinggal lah malam ini di sini, hanya malam ini, tak ada yang bisa membantuku selain dirimu saat ini!” memelas sang pangeran memohon.

Setelah menimbang-nimbang akhirnya sang layang-layang pun mengalah.

“Baiklah tapi hanya malam ini, angin sudah mulai dingin,” ujar sang burung.

Maka berterimakasih lah sang pangeran atas kesediaan sang burung untuk tinggal semalam dengannya. Malam itu ia berkisah tentang sebuah keluarga yang selalu dilihatnya setiap hari. Sebuah ruang di sebuah rumah tinggi dan sempit, hitam oleh jelaga bertahun-tahun, tinggal lah seorang ibu dan anaknya yang masih kecil. Setiap hari ibu itu menjahit baju dengan tangannya dari pagi hingga larut malam namun tak jua kemiskinan menguap dari mereka. Malam itu,sang ibu masih bekerja dengan bantuan sebatang lilin sebagai penerangan. Di sampingnya di sebuah kasur tua anaknya demam tinggi dan tak bisa tidur. Ia menangis dalam diam dan lapar karena tak ada yang bisa dimakan. Agar anaknya tak makin menderita ibu itu hanya mampu memberinya air mentah, tak ada pun obat bagi demam itu karena uang tak ada padanya. Harapannya hanya ada pada baju yang ia jahit malam itu. Malam makin larut, kantuk dan letih tak tertahankan lagi, yang akhirnya memaksa sang ibu jatuh tertelungkup di meja jahitnya sementara sang anak masih menggigil demam di sampingnya.

“Ambilah rubi di gagang pedangku dan taruhlah di meja sang ibu yang baik itu, maukah engkau melakukannya kawanku?” tanya sang pangeran.

Sang layang-layang pun mengiyakan, segeralah diambil rubi merah indah di gagang pedang dan membawa rubi itu ke ruang keluarga miskin itu. Sang ibu terlelap, di depan ibu itu ditaruhlah rubi sang pangeran. Lalu sang burung layang-layang lalu beringsut ke arah anak itu, masih demam menggigil. Ia terbang lembut ke arah kepala sang anak, diam di sana untuk sementara waktu sambil mengepakkan sayapnya. Kepakan sayap itu memberikan rasa sejuk pada kepala sang anak, dan tak lama kemudian ia pun tertidur. Setelah itu sang burung kembali terbang keluar menuju ke sang pangeran. Tak henti-henti pangeran mengucap terimakasih pada sang burung.

Esok harinya, saat sang burung bangun dari tidur dan membersihkan badan ketika ia melihat mata sang pangeran berkaca-kaca.
“Hendak berangkat kah engkau kawanku? Masih bisa kah aku sekali lagi meminta bantuanmu, bisa kah kau tunda sehari lagi penerbanganmu? Masih ada yang harus kulakukan namun tak bisa aku sendiri,” lirih sang pangeran hampir berbisik.
“Tapi angin sudah dingin, musim dingin akan datang, aku tak akan sanggup mencapai saudara-saudaraku nanti, tap aku tak mau melihatmu bersedih lagi” bimbang sang burung menjawab karena ia telah begitu menyayangi sang pangeran yang baik namun kesepian ini.

Akhirnya sang burung mengurungkan niatnya untuk melanjutkan migrasi dan memutuskan untuk sehari lagi menemani sang pangeran dalam menuntaskan misinya. Maka malam itu sang pangeran menguraikan permintaannya.

Di sisi lain kota, hiduplah seorang pemuda penulis drama yang membuat banyak drama tentang hal-hal indah. Pertunjukan dramanya telah menghibur penduduk kota dan karena itu lah setiap orang selalu merindukan sang pemuda dan kisah dramanya. Namun ia tak bisa menjual naskah dramanya setiap saat. Meski ia dengan senang hati membuat naskah drama namun tak semua orang membalasnya dengan makanan, seperti hari ini. Dalam lapar dan tubuh menggigil karena dingin ia masih berusaha mencari ide terbaik bagi dramanya nanti, namun tak kuasa jua ia membohongi rasa laparnya.

“Bagaimana bisa kuciptakan syair dan puisi indah untuk perayaan besok jika begitu lapar perut ini?” keluh sang pemuda.
Sampai akhirnya iapun pingsan tak sadarkan diri.

“Lepaskan kuningan di sekujur tubuhku dan bawalah satu persatu pada pemuda itu, saat ia bangun ia bisa menukarnya dengan makanan agar esok penduduk kota dapat menyaksikan dramanya yang indah dan mempesona itu! Ayolah, tak perlu ragu kawanku, lepaskan semua dan bawalah padanya!” pinta sang pangeran pada sang layang-layang.

Sang burung pun dengan berat hati melepaskan kulit indah sang pangeran itu, meninggalkan kulit kusam tanpa cahaya. Dalam diam iapun memindahkan lapisan kuningan itu ke samping pemuda tadi. Sekembalinya ke pangeran, giliran sang burung layang-layang yang menangis. Pangeran tampannya sekarang tampak kusam, hilang semua keindahannya. “Ah tidak, matanya masih bersinar terang dengan kristal itu,” pikir sang burung layang-layang. Disadarinya bahwa ia makin menyayangi pangeran yang berhati mulia itu.
Malam itu ternyata belum berakhir. Sementara itu butiran salju mulai turun, membekukan angin dalam dingin tak terperi.

Di bawah patung sang pangeran, di depan sebuah toko yang tertutup karena angin di luar begitu dingin sehingga orang-orang tak mau keluar rumah. Seorang gadis kecil duduk termenung memandangi kotak korek apinya yang masih penuh. Tak ada yang terjual hari itu sampai malam ini. Ia terjebak dalam dingin malam itu, dalam tangis kesedihan dan rasa takut untuk pulang karena tak ada uang yang dibawanya, sang gadis kecil duduk dan menangis dalam hening yang dalam, menyayat hati bagi siapapun yang melihatnya, tapi tak ada yang melihatnya kecuali sang pangeran dari ketinggian itu. Sebenarnya berat ia kembali meminta sahabatnya sang burung layang-layang namun ia tak punya pilihan lain, maka ia pun berkata pada sang burung itu.

“Maafkan aku karena aku kembali meminta bantuanmu tapi percayalah ini untuk yang terakhir kalinya aku memintamu! Lepaskan kedua mata kristalku ini dan berikankah pada gadis kecil di bawah sana!” pinta sang pangeran

“Tidak, aku tak mau melakukan itu, kau akan buta selamanya!” tolak sang burung dengan tegas.

“Tak apa, lagipula lebih baik aku tidak melihat jika aku tak bisa melakukan apa-apa untuk orang-orang baik itu. Aku akan jadi seseorang yang bahagia meski aku buta, terlebih karena pernah melihatmu dan menjadi sahabatmu, aku sudah tak ingin apa-apa lagi. Tolong lakukan yang terakhir ini bagiku!” mohon sang pangeran itu.

Dengan hati remuk, sang burung pun akhirnya mencongkel kedua mata kristal itu dan menjatuhkannya di kotak korek api sang gadis kecil penjual korek api itu yang seketika berdiri dan berlari dengan gembira karena memiliki sesuatu yang bisa dijual untuk hidupnya.

“Terimakasih sahabatku, kekasih hatiku karena kau telah rela letih dan sendiri untuk membantuku, esok pagi saat udara hangat oleh mentari, pergilah menuju selatan dan temui saudara-saudaramu!” ujar sang pangeran. “Tapi bolehkah aku minta satu hal lagi sebelum kau pergi esok hari, ciumlah bibirku sebagai tanda cinta dan terimakasihku untukmu sahabatku, kekasihku!” lanjut sang pangeran lagi.

Dalam keadaan letih, dingin dan kepayahan, sang burung pun meradang: “Bagaimana aku bisa meninggalkanmu, engkau sekarang buta. Lalu siapa yang akan menemanimu dalam sepi dan gelap itu? Tidak, aku akan tetap di sini, biarkan aku di sini menemanimu!” teriak sang burung layang-layang. Selanjutnya ia terbang mendekati wajah sang pangeran dan mencium bibir sang pangeran dengan lembut, untuk kemudian terjatuh ke kaki sang pangeran tanpa sang pangeran tahu.

Sang pangeran tak kuasa lagi bicara, cinta di antara mereka telah mengatakan semuanya. Tak ada kata-kata yang mampu terucap kala sang burung layang-layang pun menutup matanya untuk yang terakhir kali.

Maaf sayangku jika aku tak berhenti berkisah, kenapa matamu malah menatapku seperti itu? Tidurlah dan akan kuselesaikan babak terakhir kisah ini untukmu.

Pada pagi harinya saat walikota lewat di bawah patung itu,marahlah ia karena patung itu telah tampak begitu buruk.

“Tumbangkan patung menjijikkan ini yang hanya mengotori kota, dan bakar dia!” perintah sang walikota.

Patung itu pun habis terbakar dan meleleh namun saat semua habis, orang-orang menemukan dua benda yang masih utuh tak terbakar sedikitpun yakni hati sang pangeran dan jasad seekor burung layang-layang.

Selamat tidur cintaku! Sampai besok pagi..

“Cinta selalu membebaskan seseorang untuk pergi, namun cinta juga lah yang menyebabkan seseorang yang bebas, memilih untuk tidak pergi” (ll)

*Kisah ini merupakan penceritaan ulang dengan perubahan-perubahan dari Cerpen Oscar Wilde berjudul The Happy Prince (1888)

Lelaki dan Rembulan

Posted in Uncategorized with tags , , , , , , on September 5, 2012 by lakulintang

Mega-mega dengan angkuhnya menutupi keagungan feminin itu dalam beberapa hari terakhir ini, seperti tak bisa menerima kecantikan itu muncul dan dikagumi para pencintanya. Hujan ditumpahkan pada tanah hitam seakan menjadi sumpah serapahnya atas nama cemburu pada bening cahaya rembulan. Namun emas tetaplah emas dalam garis kosmos yang megah ini, sepongah apapun awan tak kuasa juga ia menghalangi pendar cahaya terang ilahi itu. Dan dengan tertunduk malu iapun menyingkir, memberikan jalan bagi rona para dewa itu menyiram bumi.

Senyum lebar keluar dari lubang-lubang awan, menggugah para pemujanya untuk keluar dan berhenti melakukan hal lain selain menatapnya kagum penuh rasa syukur dan cinta. Tak cukup hanya menatapnya sendirian, beberapa orang merasa perlu mengajak para sahabatnya, para kekasih, dan para pecintanya untuk memuja bening cahaya itu.

Pucuk-pucuk daun tiba-tiba tersapu warna perak, menciptakan sensasi kemilau yang agung di malam dingin itu. Kehangatan dan kerinduan mengelus lembut jiwa dan hati tiap manusia yang berkenan bersimpuh di bawah kemuliaan malam itu. Pada ibu, kekasih dan sinar terang itu ribuan kata tersampaikan, terentang antara bumi dan bulan berjuta doa dan harapan bagi jiwa-jiwa tercinta yang ada di suatu tempat di sana, dimana raganya hadir begitu jauh dan tak terjangkau. Pada sang ibunda lah semua keluh kesah tersampaikan, dan dengan lembutnya ia hanya tersenyum..dan tersenyum sampai hadir lelah menjemput, ia pun tetap tersenyum saat bangun di hari baru. Dan biarlah aku akan bercerita tentang salah seorang dari para pemuja rembulan itu ketika berdialog dengan sang bunda pada malam kudus itu.

“Hai anakku, sahabatku…kenapa kulihat muram wajahmu meski senyum kau kembangkan padaku malam ini? Tak sukakah engkau melihatku malam ini?” tanya sang Candra pada lelaki itu.

“Tak mungkin aku menolakmu karena sebenarnyalah kutelah menunggumu dalam beberapa waktu terakhir, dalam malam-malam sendiriku aku menyumpahi mega-mega brengsek dan sekutunya hujan jahanam yang menghalangimu dari aku. Maukah kau mendengarkanku sang Dewi?” tanya balik sang lelaki yang sedang duduk tercenung dalam butiran cahaya malam itu.

“Teruskan ananda, aku mendengarkanmu!” jawabnya.

“Apa arti kehilangan bagi setiap manusia, dan kenapa selalu muncul kesedihan saat diri ini ditinggalkan dan apa yang membedakan antara kehadiran dan ketidakhadiran seorang sahabat?” tanya sang lelaki.

“Hmm anakku, itu pertanyaan yang selalu ada setiap masa dan anehnya tak jua setiap manusia berhenti menanyakan itu. Bila aku menjawabnya, apa kah yang jawaban yang kau kehendaki, sebuah jawaban yang membuatmu tak resah dan segera tertidur ataukah jawaban yang akan kau hayati sepanjang waktu hidupmu, menghantuimu dan mungkin akan membuatmu selalu menangis?” tak segera sang Dewi menjawab pertanyaan lelaki itu.

“Aku tak yakin aku membutuhkan jawaban sebenarnya ibu, mungkin aku cuma ingin berkisah dan berkeluh padamu karena tak ada yang mendengarkanku saat ini,” aku lelaki gelisah itu.

“Tapi tak ada kata yang bisa kuucapkan, kelu lidah ini, tak kah kau merasakan apa yang kurasakan sang dewi yang agung? Aku tak mau menangis saat ini, aku tahu itu tak berguna namun butir-butir airmata telah jatuh dari jiwaku dan membasahi jiwaku di dalam, tak bisa kutahan itu semua.” lanjutnya.

“ Habiskan semua air matamu dulu anakku, saat terbit fajar di jiwamu kau akan melihat lebih jelas dan mendengar lebih jernih apa yang akan aku katakan. Lepaskan saja semua, tak ada yang salah, air mata dari jiwamu adalah daun-daun yang rela gugur ke tanah untuk memberikan tempat bagi daun-daun hijau yang muda, ranting-ranting yang menyerahkan diri untuk patah agar batang utama makin kokoh dan menjulang, maka biarkan semua itu, itu sama sekali bukan kecengengan. Air mata hadir agar tiap jiwa menjadi utuh sebagai manusia, bukan sebatang besi yang akan rapuh dihempas ombak karena ia tidak berjiwa, tapi kamu adalah manusia tercintaku…ananda tersayang,” suara sang Rembulan membisik lembut di telinga sang lelaki yang dilanda kesedihan tertahan itu.

Dan rangkaian kesah, marah, tangis, serta diam menjadi sajian di antara mereka untuk beberapa saat…sang Rembulan tetap tersenyum, sesekali ia mengibaskan lengannya pada mega-mega yang mencoba kembali merengkuhnya dalam gelap, agar sang putra manusia dapat terus berkisah.

Di ujung kisahnya, sang lelaki diam lama…dan dengan buangan nafas panjang, kelegaan muncul padanya.

“Anakku, sahabatmu adalah ladang yang kau semai dengan cinta dan kau panen dengan perasaan syukur, begitu juga sebaliknya engkau baginya. Ia adalah kekasih hatimu tanpa harus menggunakan kata-kata dan ekpresi apapun, dalam cinta sahabat, semua pemikiran, keinginan, dan harapan akan lahir dan dibagi. Kalian adalah laut dimana selayaknya pasang akan sangat merindukan surut karena kalian adalah satu namun jangan lupa bahwa di antara kalian tetap ada ruang dimana angin-angin dari surga menari sehingga kalian akan juga ikut menari bersama ayunan dunia ini!” ujar lembut sang Dewi pada sang manusia.

“Lalu apa yang harus kulakukan ketika kami terpisah?” tanya sang lelaki.

“Tak perlu berduka karena itu, cintamu yang terdalam baginya menjadi lebih jernih dalam ketiadaannya, bagai gunung bagi para pendaki yang akan tampak lebih jelas ketika berada di dataran,” jawab sang Ibunda.

“Carilah dia di saat-saat berartimu, bukan di saat luangmu, karena ia akan mengisi kebutuhanmu, bukan kekosonganmu!” lanjut sang rembulan lagi.

Malam pun akhirnya menebar bibit-bibit lelah bagi para manusia resah sekalipun, sang dewi dengan hangat menyelimuti sang anak manusia yang telah lelap dalam cahaya peraknya sampai pasangannya yang senantiasa membunuhnya setiap pagi hadir, sang surya. Namun begitu sungguh besar cinta rembulan dan matahari pada sang manusia, mereka bergantian menjaganya. Di siang hari matahari akan membawa api dan gairah pada sang manusia untuk membangun dunia sementara rembulan akan menghiburnya dengan lembut di malam hari dan mendengarkan kisah-kisahnya.

Ingatlah  sang manusia pada apa yang dikatakan sang rembulan sebelum ia terlelap “dalam embun pada setiap ciptaan mungil, hati akan menemukan pagi dan kesegarannya.” Iapun tertawa, tersenyum dan mencari ruang dimana ia akan berbicara dengan sahabatnya dalam bahagia dan tangis sekalipun.* (ll)

*beberapa kutipan di bagian akhir diambil dari syair Gibran berjudul Persahabatan.

Jangan Tunggu Aku Malam Ini!

Posted in Uncategorized with tags , , , on Agustus 31, 2012 by lakulintang

Jangan tunggu aku malam ini..!

Tutuplah pintu dan jendela rumahmu dan terlelaplah bersama rembulan kekasihku,

karena aku tak akan datang malam ini.

Tak kan lagi kupeluk dan kuusap lembut rambutmu.

Aku tahu kau mau aku ada di sana, aku pun begitu, namun tak bisa kendali atas emosi ini aku tahan. Rasa yang mengubahku menjadi monster yang menghisap segala indahmu, aku jadi bukan diriku.

Atau memang itulah diriku…!

Bawalah dirimu padanya yang menyayangimu dengan lembut itu dan berkasih lah, aku cemburu tapi harus kurelakan semua…

Namun perkenankan aku jadi orang pertama yang mengucapkan: Selamat Ulang Tahun Sahabat..!

——————————-

Reva : knp sih kamu?

Les : knp apanya?

Reva : jangan pura2 oon! knp km ga dtg smlm, wkt dimana ak kosongkan agar bs bersmamu dari senja sampai fajar datang? km mrh?

Les : hmmm…ngga Va, jujur pgn bangt ak dtg, bhkn ak dah siapkan kado terbaik utkmu! namun maap aku hrs urungkan niatku, ini semua utk km, percylah!

Reva : ak hrs prcya apa, bhkan km trlalu pengecut utj dtg dan hdpi semua ini! Km sengja mengindariku? Aku slh ap sih Les??? Ga bisakah kita ktm?

Les : Km ga slah Va, ak yg salah. rasanya gak benar kl ak dtg lg pdmu. kl aku dtg, aku menuntunmu ke dlm kubangan mslah yang besar, aku siap dg itu tapi kmu tdk sayangku..tempatmu bkn disana! sebaiknya ngga Va..maafkan aku!

Reva : Jadi it jd alsan km pergi gitu aja setlah apa yg km lakukan pdku! bullshit semua omgan km soal keyakinan n kebranian merebutku dr pelukan swmi dan kel ku…justru ketika aku siap utk terbang tinggi…banci kau Les!

Les : ak mengrti kemarahanmu Va..semua sdh prnah kukatakan padamu bahwa aku bkn org yg pntas bersamamu, ak cm bajingan, yg terperosok dlm pesonamu! atas nama rasa sayang kulakukan ini., laki-laki itulah yang terbaik bagimu, tak sempurna memang tapi bersamanya lah kau akan temukan bahagia, bukan dengan aku. Aku ngga pantas…

Reva : Lalu km nafikan aku bgt sja? Tdk blhkah aku menilai dn menentukan kebhgiaanku? Km egois Les, km banting ak ketika aku menginginkanmu! Dl km mati2an memperjuangkanku, merebutku dr lk2 itu, dan aku smpt membencimu krn itu, tapi di saat angin berubah, ketika aku terseret ke sana, km jutsru pergi. Anjingggg km!!!!

Les : Va…dengarkan aku..ak mencintaimu!!!

Reva : omong ksong!!! persetan dgnmu Les..!!

Les : Va…! plis relakan semua ini..! …………………..

Les : Va..knp diam? (your message can not be sent)…..”shitt!”

Les : Va..bicaralah! (your message can not be sent)…..

Les :………………………………

Selamat tinggal kekasihku, sahabatku tercinta, selamat ulang tahun…dari jauh kutetap memandangmu, dari sini kukirimkan doa selalu untukmu…semoga bahagia jd milikmu seorang! Jangan tunggu aku lagi..biarlah aku yang menantimu! (ll)

Yang Hilang dan Yang Tertinggal

Posted in Uncategorized with tags , , , , on Mei 25, 2012 by lakulintang

Mesin pendingin ruangan di dinding itu menunjukkan angka 17 tapi rasanya gerah sekali kurasakan, sesekali berdiri lalu duduk kembali kemudian berdiri lagi, berjalan ke arah tak tentu untuk kemudian kembali ke bangku tunggu itu dengan menghembuskan nafas panjang dari mulutku. Mataku berulang kali menatap pintu ruang berwarna biru muda itu, menanti sesuatu yang akan keluar dari sana.

Akhirnya pintu itu terbuka, seorang laki-laki dengan baju operasi keluar, berwajah datar menyapaku, lebih tepatnya bertanya padaku..karena aku memang satu-satunya orang di situ.

“Anda suami ibu itu?” tanyanya

“Eh… iya dok, gimana hasilnya?” tanyaku balik.

Agak tergagap aku dengan pertanyaan dokter itu, tapi karena memang sudah kusiapkan jawabannya, aku tak tampak terlalu gugup.

“Sudah bersih pak, lancar, sebentar lagi istri Anda akan dibawa ke ruangannya dan mungkin dalam beberapa jam akan siuman. Tolong nanti dikasih obatnya. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang,” lanjutnya.

……

Yang ia bicarakan adalah anakku, tapi ia sudah bersih sekarang…!

Namun perempuan di dalam sana bukanlah istriku…(ll)

Dijual Cepat

Posted in Uncategorized with tags , , , , on Mei 23, 2012 by lakulintang

Di sebuah batang pohon mahoni di jalan antara Jogja dan Bantul, terpampang sebuah iklan yang tampaknya dibuat dengan terburu-buru. Hanya bermodal spidol dan fotokopian, terbacalah isi iklan tersebut.

Dijual cepat:

Perlengkapan bayi (box, pakaian, sepatu, mainan, alat makan, dll)

Harga: 500 ribu rupiah (total 1 paket)

Kondisi: 100 % baru (belum pernah dipakai)

…(ll)