Elegi Maling Ayam

Episode pengambilalihan kontrol negara oleh para klepto alias maling berdasi belum selesai di Indonesia. Semenjak kasus Gayus saja  saja masih ada rentetan kontroversi persoalan korupsi yang kembali meruyak dan menyakiti rasa keadilan masyarakat, sebut saja persoalan suap dalam pemilihan Miranda Gultom, kasus rekening milyaran milik Bahasyim sang mantan pegawai Dirjen Pajak, kasus memalukan dimana 17 gubernur jadi tersangka korupsi, pembebasan bersyarat Ayin, dan jika direnteng akan lebih banyak lagi kejadiannya. Ini seakan benar ini menunjukkan para maling ini sedang merayah negeri kaya ini.

Episode ini berkembang menjadi dagelan tidak lucu sama sekali karena malah berkembang menjadi ajang transaksi politik. Indikasi ini menguatkan bahwa lembaga peradilan dan penegak hukum sebenarnya cuma pion-pion yang bisa disetir oleh para politisi. Parlemen dan partai politik adalah rumah bagi para koruptor untuk dididik dan dilindungi. Para jaksa macam Urip bisa dihukum puluhan tahun, sementara sang penyuap jaksa sudah bisa melenggang kangkung ke mana-mana. Hakim dimutasi, keluarganya berantakan sementara para politisi bicara bak nabi yang suci di televisi yang notabene juga punya hubungan dengan politisi busuk juga, memberi pengesahan bahwa bukan bos mereka yang salah melainkan presiden, nah lo…!

Bagaimana mungkin hanya karena kicauan Gayus sang pesakitan yang mengubah pengakuan seenak wudelnya dan lalu malah menyerang balik Satgas Mafia Hukum. Lucunya lagi adalah politisi Golkar justru menyambar ini jadi alat untuk menyerang Satgas dan presiden. Opppooo tumooon…alias apa masuk akal hal kayak gini bisa terjadi di rechstaat ini. Secara awam tentu akan mengalami kebingungan luar biasa ketika media menyajikan informasi yang berbeda dari waktu ke waktu: dari seorang rampok, Gayus malah jadi pahlawan, dan justru Satgas Mafia Hukum yang seolah jadi penjahat sekarang! Koruptor dan pembelanya berteriak-teriak di TV dan ruang sidang macam orang tanpa dosa dan menuduh para pemberantas korupsi sebagai sekelompok orang jahat yang telah men-dzalimi mereka! weleh..weleh..weleh…

Tepat lah jika kita mengingat kembali apa yang dilontarkan dengan keras oleh Johnson Panjaitan  beberapa waktu lalu di sebuah media nasional bahwa segala macam isu dihadirkan untuk mengalihkan persoalan inti yakni pemberantasan mafia hukum dan mafia pajak. Pemberantasan mafia tak bisa menggunakan mekanisme hukum normal karena justru para mafia menggunakan mekanisme hukum normal ini agar membuat mereka bisa terus mengobrak-abrik tata hukum negeri ini. Untuk melawan mafia hukum diperlukan tongkat besi panas, bukan metode konvensional macam penanganan kasus maling ayam saja. Mafia hukum bukanlah segerombolan anak geng yang secara fisik dapat terlihat, mereka adalah kuman-kuman yang mampu bergerak di celah-celah hukum dan politik yang buruk. Selama tata hukum dan politik busuk, maka mafia tak akan bisa diberantas.

Secara teoritik, fenomena dimana hukum memiliki unsur stratifikasi atau pembedaan tampak jelas di sini bahwa kaum yang memiliki sumber daya kuat dapat mempengaruhi hasil akhir. Prinsip hukum bahwa everybody is equal before the law adalah sesuatu yang dalam realitasnya tidak selalu terwujud. Dalam kenyataan, kesenjangan sosial-ekonomi telah menyebabkan kerja hukum yang senjang dan berat sebelah, dan seperti yang pernah ditulis oleh oleh Marc Galanter ”the haves will always get out ahead” karena mereka memiliki kemampuan membeli pengacara mahal dan membeli penegak hukum yang menangani perkara krimina mereka (dalam Sutandyo Wignyosubroto, 2010). Dalam kata lain hukum di manapun itu selalu memiliki kecenderungan bahwa semakin ke atas akan semakin longgar, semakin tinggi kelas yang berperkara semakin rendah hukumannya (dibandingkan kejahatannya) sementara semakin ke bawah hukum akan berlaku semakin keras. Dalam istilah yang digunakan oleh Donald Black seseorang sosiolog hukum dirumuskan dengan “downward law is greater than upward law”.

Dalam suatu kesempatan, aku membaca dan ingin membagi sebuah tulisan menarik dari majalah terbitan terbatas Inside Sumatera edisi Mei 2010 (notabene sebelum kasus Gayus diputus namun isinya masih sangat relevan) yang sangat cocok dengan rumusan Donald Black dan Marc Galanter di atas, dari tulisan tersebut juga akan membantu para awam mengidentifikasi siapa sih yang disebut mafia hukum tersebut. Isi tulisan tersebut adalah membandingkan perlakuan hukum dan sosial atas kejahatan kaum kerah putih (kelas atas) dan terhadap kaum kerah biru atau rakyat jelata (dalam hal ini diwakili secara terhormat oleh sang Maling Ayam). Lebih menarik lagi, tulisan bergaya tutur orang Sumatera bagian utara (yang mungkin juga malu dengan kelakuan kawan-kawan mereka di Jakarta heheh..!) ini bernada seloroh, satire, olok-olok, dan terkesan mencibir. Tapi siapa sih sekarang yang tidak mencibir hukum dan penegaknya sekarang? Yang pasti mafia hukum sedang melakukannya sekarang di rumah mewah dan mobil supercanggih mereka.

Mari kita cermati sama-sama,

  Maling Ayam Koruptor
Ketika ditangkap Digebuki, dibal-bal, diludahi dan dimaki-maki sebelum sampai kantor polisi Didiskusikan, dipertimbangkan, memakai asas praduga tak bersalah..ditarik-ulur, diutak-atik, dikunyah-kunyah, dan akhirnya koruptor senyam-senyum di depan kamera televisi, diantar atau dijemput dengan pakaian rapi ke kantor polisi.
Nilai Kerugian Kira-kira 15 ribu perkilo, lalu dijual cepat di pasar gelap menjadi 12 ribu perkilo. Kalau tak dijual, biasanya jadi tambul tuak di posko-posko liar Bisa mencapai milyaran rupiah tergantung apakah korupsinya di kantor lurah, camat, bupati, gubernur, BI,  atau kantor pajak
Status dan perilaku sosial Pengangguran, berandalan, putus sekolah, orang kepepet, dan orang-orang tidak penting yang hidup seperti parasit sosial Biasanya berasal dari kalangan terpandang, feodal modern dan jago berkawan. Dalam sosoknya sehari-hari mereka sering dikenal sebagai orang yang lebih dermawan dari orang jujur. Suka menyumbang berbagai acara mulai hajatan kecil di kampung, majelis pengajian, pesta perkawinan, acara OKP tertentu, tokoh agama, hingga sumbangan dalam jumlah besar untuk tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik.
Respon publik atas pelaku Tentu tidak akan ada yang membela kalau orang macam ini tertangkap. Pokoknya masyarakat akan berterimakasih pada siapapun yang mau repot-repot menghajar begundal kecil macam ini. Karena koruptor biasanya terkait dengan jabatan penting maka opini publik biasanya terbelah dua: antara yang ketiban rezeki (begitu secara kurang ajar mereka menyebutnya) dengan kalangan oposisi dari berbagi motif. Bagi yang membela tersangka, biasanya mereka akan melakukan cara-cara tradisional seperti bikin gerakan masyarakat anu mendukung tersangka anu (tapi tak sampai mau ikut masuk penjara), bikin facebooker pendukung bapak anu mumpung cara ini lagi ngetren, membuat forum zikir bersama, hingga sembahyang ghaib buat si tersangka. Pokoknya seperti tindakan mengusir setan dengan ayat-ayat suci. Cukup aneh memang.
Perlakuan aparat penegak hukum Agak sepet dan malas menanganinya. Bisa-bisa tekanan darah penyidik langsung naik dua strip saat membaca file sangkaan atas perbuatan pencurian ini. Bikin repot aja! Sangat berhati-hati dalam memutuskan status dan sangkaan atas perbuatan korupsi. Semuanya harus lengkap biar bisa P21 oleh kejaksaan. Perlu izin penangkapan dari atasan tersangka. Perlu bukti-bukti super kuat dan otentik. Perlu pertemuan-pertemuan khusus. Masalahnya makin rumit karena korupsi itu sifatnya selalu berjamaah sebab sulit sekali melakukannya sendirian seperti maling ayam di malam gulita.
Upaya pembelaan Kalau sudah tertangkap, sulit membela diri.Biasanya tertangkap tangan sih. Semakin banyak omong, bisa-bisa semakin berat hukumannya. Bikin konferensi pers, menuduh adanya konspirasi, mengelak dari segala tuduhan, mengumpulkan para pendukungnya yang loyal, membayar pengacara termahal, menggunakan kekuasaan untuk pencitraan, dan kalau perlu..lemparkan kesalahan pada pihak lain yang siap dibuat tumbal.
Jenis lawyer yang mendampingi Kadang didampingi pengacara pro bono dari negara tapi banyak juga yang tidak didampingi sama sekali. Segudang pengacara top siap mengantri, tergantung kesepakatan ongkosnya. Ada juga pengacara gratis yang menyodorkan diri untuk sekedar mengangkat nama dan mengukir prestasi
Sikap keluarga terdekat Malu sekali. Kalau perlu, mengaku tidak kenal sama pelaku. Mendukung habis. Bukankah hasilnya dinikmati bersama? Terbayang jalan-jalan shopping bareng ke luar negeri, naik Mercy ke mana-mana dan dapat perlakuan istimewa di kelas-kelas eksekutif.
Jenis penjara Sel Polsek yang sempit dan pengap Ruangan penjara terbaik.

Sehabis membaca tulisan ini, di dalam hati, segala sumpah serapah dari segala macam isi kebun binatang tak kuasa dibendung, namun di sisi lain tak kuasa juga mencegah senyuman. Senyuman yang getir dan mungkin tawa putus asa. Semua bentuk kelakuan yang ditulis dalam tulisan di atas terpampang jelas di televisi dan media cetak, betapa hukum memang tidak adil. Orang miskin ditahan hanya karena mencuri semangka, mengambil sisa daging milik majikan, bahkan terpaksa mendekam di penjara karena mengambil batu bata di lokasi tanahnya sendiri (?!)

Maju terus Pemberantasan Korupsi dan Musnahkan para Mafia Hukum dan Pajak. Rakyat memang putus asa namun selalu menyimpan kekuatan besar untuk mendukung kalian! (ll)

2 Tanggapan to “Elegi Maling Ayam”

  1. Kekuatan FreeMason Yahudi bermain di balik masalah Gayus dll.?
    Semua orang sepertinya berusaha untuk saling menutupi agar kedok anggota mafia FreeMason utamanya tidak sampai terbongkar.
    Jika memang benar demikian, maka tidak akan ada yang bisa menangkap dan mengadili Gembong tersebut -di dunia ini- selain Mahkamah Khilafah!
    Mari Bersatu, tegakkan Khilafah!
    Mari hancurkan Sistem Jahiliyah dan terapkan Sistem Islam, mulai dari keluarga kita sendiri!

    • waduh, terus terang saya belum pernah nih dengar analisa bahwa kasus gayus berlatar belakang ideologis gerakan free mason bung..mungkin Anda bisa menguraikannya lebih rinci nih. Makasih dah mau mampir. Salam

Tinggalkan komentar